Selasa, 10 Januari 2012

Makalah Shirah Nabawiyah : Nasab, kelahiran, dan penyusuan Nabi Muhammad


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Allah subhanahu wa ta’ala telah mengutus seorang nabi sekaligus rosul tidak lain untuk menunjukkan kita sebagai umatnya ke jalan yang Allah swt ridhoi. Dia lah Muhammad Rasulullah bagi seluruh umat dan merupakan nabi terakhir serta sebagai imam para rasul-rasul terdahulu sebelumnya. Yang datang dengan membawa agama islam. Agama yang tidak akan Allah terima di hari akhir nanti selain Islam. Di tengah-tengah kehidupan jahiliah kaum Arab, Allah turunkan beliau melalui keturunan orang-orang Quraisy, yang merupakan suatu kaum yang sangat mulia pada zaman kelahirannya. Dan kemudian Allah perintahkan beliau untuk menyerukan umatnya bahwa Tuhan adalah satu, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala Tuhan seru sakalian alam yang hanya Dia lah yang patut disembah. Maka Allah jaga Muhammad sejak kelahiran hingga kenabiannya. Kelahiran yang membawa keberkahan bagi mereka yang menyayanginya dan memuliakannya, juga bagi mereka yang mendukung serta membelanya ketika berperang melawan orang-orang kafir, baik harta bahkan jiwa. Allah muliakan beliau dengan suatu Mukjizat yang begitu sempurna yang belum pernah nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya mendapatkannya, yaitu Al-Qur’an. Suatu kalam Allah yang dapat dijadikan suatu petunjuk dan undang-undang bagi umat dan hamba-Nya. Allah turunkan mukjizat ini secara berangsur-angsur, sembunyi-sembunyi hingga akhirnya secara terang-terangan. Berbagai celaan dan ketidakpercayaan umatnya dalam menyampaikan risalah-Nya. Namun Allah subhanahu wa ta’ala sangat menjaga beliau dari serangan-serangan umatnya yang tidak menerima risalah dan kebenarannya. Dan Allah pun telah berjanji bahwasanya kemurnian dan kebenaran Al-Qur’an tidak akan pernah berubah sebagaimana firmannya:
إِنَّ نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّ لَهُ لَحفِظُوْنَ (الحجر : 9)
        Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (Al-Hijr:9)

1.2              Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah susunan silsilah keluarga rasulullah shallallahu ‘a alaihi wa sallam?
2.      Apa tujuan Rasulullah shallallahu ‘a alaihi wa sallam melakukan perjalanan ke Syam?
3.      Seperti apakah keikutsertaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pembangunan ka’bah?
4.      Bagaimanakah system turunnya wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘a alaihi wa sallam

1.3              Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini, adalah :
1.      Agar Memahami kepribadian Rasulullah melalui celah-celah kehidupan dan kondisi-kondisi yang pernah dihadapinya.  
2.      Agar manusia dapat memahami gambaran Al-Matsal, Al-A’la menyangkut seuruh aspek kehidupan yang utama untuk dijadikan undang-undang dan pedoman hidup.
3.      Agar kita dapat mengkaji Sirah Rasul untuk dapat memahami Kitab Allah.
 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Nasab, kelahiran, dan penyusunan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
Nasabnya ialah Muhammad bin Abdullah Muthallib (namanya Syaibatul Hamd) bin Hisyam bin Abdi Manaf (namanya Al-Mughirah) bin Qushayyi (namanya Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhar bin Qinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nazar bin Mu’iddu bin Adnan.
Itulah batas nasab Rasulullah yang disepakati selebihnya dari yang telah disebutkan masih diperselisihkan. Akan tetapi, hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi ialah bahwa Adnan termasuk anak Ismail, nabi Allah, bin Ibrahim, kekasih Allah. Allah telah memilihnya (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dari kabilah yang paling bersih, keturunannya yang paling suci dan utama. Tak sedikitpun dari karat-karat jahiliyah menyusup ke dalam nasabnya.
Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Rasulullah shallallahu  alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
إِنَّ اللهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى هَاشِمًا مِنْ قُرَيْشٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ.
“Sesungguhnya, allah telah memilih kinanah anak dari isma’il dan memilih quraisy dari kinanah, kemudian memilh hasyim dari quraisy, dan memilihku dari bani hasyim.”
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan pada tahun gajah, yakni tahun saat Abraham Al-Asyram berusaha menyerang makkah dan menghancurkan ka’bah. Allah menggagalkannya dengan mukjizat yang mengagumkan, sebagaimana diceritakan di dalam Al-qur’an. Menurut riwayat yang paling kuat, kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jatuh pada senin malam, 12 Rabi’ul awwal. Ada juga yang berpendapat bahwa kelahiran Nabi Muhammad pada hari Senin pagi, 9 Rabi’ul Awwal tahun pertama peristiwa gajah dan empat puluh tahun masa kekuasaan kisra anusyirwan. Hal itu bertepatan dengan 20 atau 22 April 571 M.[1] berdasarkan penelitian ulama terkenal, Muhammad Sulaiman Al-Manshurfury dan peneliti astronomi Mahmud Basya.[2]
Ibnu sa’d meriwayatkan, bahwa ibu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana-istana di Syam.[3]
Ahmad juga meriwayatkan dari Al-Arbadh bin Sariyah, bahwa isinya serupa dengan perkataan tersebut.[4]
Diriwayatkan bahwa ada beberapa bukti pendukung kerasulan, bertepatan dengan kelahiran beliau, yaitu runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, dan padamnya api yang biasa disembah orang-orang Majusi, serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah setelah gereja-gereja itu ambles ke tanah. Yang demikian ini diriwayatkan Al-Baihaqi, sekalipun tidak diakui Muhammad Al-Ghazali.[5]
Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim. Bapaknya, Abdullah, meninggal ketika ibunya mengandung 2 bulan. Beliau dikhitan pada hari ketujuh, seperti yang biasa dilakukan orang-orang Arab.[6] Beliau lalu diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthathalib, dan disusukannya sebagaimana tradisi Arab waktu itu kepada seorang wanita dari Bani Sa’ad bin Bakar bernama Halimah binti Abu Dzu’aib. Dan sebelumnya disusui oleh tsuwaibah Al-Aslamiyah yang merupakan hamba sahaya Abu Lahab.
Para perawi sirah telah sepakat bahwa pedalaman Bani Saad pada waktu itu sedang mengalami musim kemarau yang menyebabkan keringnya ladang peternakan dan pertanian. Tidak lama setelah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumah Halimah, tinggal di kamarnya, dan menyusu darinya, menghijaulah tanaman-tanaman di sekitar rumahnya sehingga kambing-kambingnya pulang ke ladang dan sarat air susu.
Selama keberadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di pedalaman Bani Sa’ad terjadilah peristiwa pembelahan dada.[7] Muslim meriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi Jibril, yang saat itu beliau sedang bermain-main dengan beberapa anak kecil lainnya. Jibril memegang beliau dan menelantangkanya, lalu membelah dada dan mengeluarkan hati beliau dan mengeluarkan segumpal darah dari dada beliau, seraya berkata :”Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu.” Lalu Jibril mencucinya di sebuah baskom dari emas dengan menggunakan air zamzam, kemudian menata dan mengembalikannya ke tempat semula. Anak-anak kecil lainnya berlarian mencari ibu susunya dan berkata.”Muhammad telah dibunuh.” Mereka pun datang menghampiri beliau yang wajau beliau semakin berseri.[8]
Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu, Halimah merasa khawatir terhadap keselamatan beliau, hingga dia mengembalikan kepada ibu beliau. Maka beliau hidup bersama ibunda tercinta hingga umur enam tahun.
Aminah merasa perlu mengenang suaminya yang telah meninggal dunia. Dengan cara mengunjungi makamnya di Yatsrib. Maka dia pergi dari Mekkah umtuk menempuh jarak lima ratus kilometer, bersama putranya yang yatim, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, disertai pembantu wanitanya Ummu Aiman. Abdul muththalib mendukung hal ini. Setelah menetap selama sebulan di Madinah, Aminah dan rombongannya siap-siap untuk kembali ke Mekkah. Dalam perjalanan pulang itu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia di Abwa’, yang terletak antara Mekkah dan Madinah.[9] 
Setelah itu, beliau berada dalam asuhan kakeknya Abdullah Muththalib. Perasaan kasih saying di dalam sanubari terhadap cucunya yang kini yatim piatu semakin terpupuk. Hatinya bergetar oleh perasaan kasih sayang, yang tidak pernah dirasakannya sekalipun terhadap anak-anaknya sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan dia lebih mengutamakan cucunya daripada anak-anaknya.
Ibnu Hasyim berkata,”Ada sebuah dipan yang diletakkan di Ka’bah untuk Abdul Muththalib. Kerabat-kerabatnya biasa duduk di sekeliling dipan itu higga bdul muththalib keluar ke sana, dan tak seorang pun di antara mereka yang berani duduk di atas dipan itu, sebagai penghormatan terhadap dirinya. Suatu kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi anak kecil yang montok, beliau duduk di dipan itu. Paman-paman beliau langsung memegang dan menahan agar tidak duduk di dipan itu. Tatkala abdul muththalib melihat kejadian ini, dia berkata “Biarkanlah anakku ini. Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung.” Kemudian Abdul Muththalib duduk bersama beliau di atas dipannya, sambil mengelus punggung beliau dan senantasa merasa gembira terhadap apapun yang beliau lakukan.”
Setelah usia nabi genap 8 tahun lebih dua bulan sepuluh hari, kakek beliau meninggal di dunia di Mekkah. Sebelum meninggal, Abdul Muththalib sudah berpesan menitipkan pengasuhan sang cucu kepada  pamannya Abu Thalib, saudara kandung bapak beliau.[10]


2.2              Perjalanan Rasulullah shallallahu wa alaihi wa sallam yang pertama ke Syam dan usahanya mencari rezeki
Ketika berusia 12 tahun dan ada yang berpendapat lebih dua bulan sepuluh hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diajak pamannnya, Abu Thalib pergi ke Syam dalam suatu kafilah dagang. Sewaktu kafilah berada di Bashra, suatu daerah yang sudah termasuk syam dan merupakan ibukota Hauran, yang juga merupakan ibukota orang-orang arab.sekalipun di bawah kekuasaan bangsa Romawi,di negeri ini ada seorang rahib yang dikenal dengan sebutan Bahira, yang bernama asli Jurjis. Ia adalah seorang pendeta yang banyak mengetahui Injil dan ahli tentang masalah-masalah kenasranian. Tatkala kafilah singgah di daerah ini, maka sang rahib menghampiri mereka dan mempersilahkan mereka mampir ke tempat tinggalnya sebagai tamu kehormatan. Padahal sebelum itu, rahib tersebut tidak pernah keluar, namun begitu dia bisa mengetahui Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dari sifat-sifat beliau.
Bahira kemudian melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ia lalu mulai mengamati nabi dan mengajaknya berbicara. Bahira kemudian menoleh kepada Abu Thalib dan menanyakan kepadanya, “Apa status anak ini di sisimu?” Abu Thalib menjawab,”Anakku (Abu Thalib memanggil Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan panggilan anak karena kecintaannya yang mendalam)”. Bahira bertanya kepadanya, “Dia bukan anakmu. Tidak sepatutnya ayah anak ini masih hidup.” Abu Thalib berkata, “Dia adalah anak saudaraku.” Bahira bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh ayahnya?” abu Thalib menjawab, “Dia meninggal ketika ia dikandung ibunya.” Bahira berkata, “Anda benar. Bawalah dia pulang ke negerinya dan jagalah ia dari orang-orang Yahudi. Jika mereka melihatnya disini, pasti akan dijahatinya. Sesungguhnya, anak saudaramu ini akan menggenggam perkara besar”. Abu Thalib kemudian membawanya cepat-cepat ke Mekkah[11].
Dan dalam buku Sirah Nabawiyah karangan Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri diceritakan bahwa sang rahib memegang tangan Rasulullah sambil berkata:” Orang ini adalah pemimpin semesta alam. Anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam”.
Abu Thalib bertanya:” dari mana engkau tahu hal itu?”
Rahib Bahira menjawab: “ sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak bersujud melainkan kepada seorang nabi. Aku bisa mengetahui dari stempel nubuwah yang ada dibagian bawah tulang rawan bahunya, yang menyerupai buah apel. Kami juga bias mendapatkan tanda itu di dalam kitab kami.”
Kemudian Rahib Bahira meminta agar Abu Thalib kembali lagi bersama beliau tanpa melanjutkan perjalanan ke Syam, karena dia takut gangguan dari pihak Yahudi. Maka Abu Thalib mengirim beliau bersama beberapa pemuda agar kembali lagi ke Mekkah.
Memasuki masa remaja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mulai berusaha mencari rejeki dengan menggembalakan kambing. Hanya saja beberapa riwayat meneybutkan Beliau biasa menggembala kambing di kalangan Bani Sa’ad dan juga di Mekkah dengan imbalan uang beberapa Dinar.[12] Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bertutur, “Aku dulu menggembalakan kambing di Mekkah dengan upah beberapa qirath”. selama masa muda Allah telah memeliharanya dari penyimpangan yang biasanya dilakukan oleh para pemuda seusianya, seperti berhura-hura dan permainan nista lainnya. Bertutur Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang dirinya.
            “Aku tidak pernah menginginkan sesuatu yang biasa mereka lakukan di masa jahiliyah kecuali 2 kali. Itupun kemudian dicegah oleh Allah. Setelah itu, aku tidak pernah menginginkannya sampai Allah memuliakan aku dengan risalah. Aku pernah berkata kepada seseorang teman yang menggembala bersamaku di Mekkah, “Tolong awasi kambing ku karena aku akan memasuki kota Mekkah untuk begadang sebagaimana para pemuda”. Kawan tersebut menjawab, “Lakukanlah.” Aku lalu keluar. Ketika aku sampai di rumah pertama di Mekkah, aku mendengar nyanyian, lalu aku berkata, “Apa itu?” mereka berkata, “Pesta.” Aku lalu duduk mendengarkannya. Allah kemudian menutup telingaku lalu aku tertidur dan tidak terbangunkan kecuali oleh panas matahari. Aku kemudian kembali kepada temanku lalu ia bertanya kepadaku dan aku pun mengabarkannya. Pada malam yang lain, aku katakan kepadanya sebagaimana malam pertama. Aku pun kembali ke mekkah lalu mengalami kejadian sebagaimana malam terdahulu. Setelah itu, aku tidak pernah lagi menginginkan keburukan.  

2.3              Keikutsertaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam Membangun Ka’bah
Ka’bah adalah “rumah” yang pertama dibangun atas nama Allah, untuk menyembah Allah, dan mentauhidkan-Nya. Dibangun oleh bapak para Nabi, Ibrahim As setelah menghadapi “perang berhala” dan penghancuran tempat-tempat peribadatan yang didirikan diatasnya. Ibrahim As membangunnya berdasarkan wahyu dan perintah dari Allah,
            “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Ismail (seraya berdoa), ‘ya Rabb kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah (2) : 127).
Setelah itu, Ka’bah mengalami beberapa kali serangan yang mengakibatkan kerapuhan bangunannya. Diantaranya adalah serangan banjir yang menenggelamkan Makkah beberapa tahun sebelum bi’tsah sehingga menambah kerapuhan bangunannya. Hal ini memaksa orang-orang Quraisy harus membangun Ka’bah kembali demi menjaga kehormatan dan kesucian bangunannya. Penghormatan dan pengagungan terhadap Ka’bah merupakan “sisa” atau peninggalan dari syariat Ibrahim as yang masih terpelihara dikalangan orang Arab.
Sebelum bi’tsah, Rasulullah saw pernah ikut serta dalam pembangunan Ka’bah dan pemugarannya. Beliau ikut serta aktif mengusung batu diatas pundaknya. Pada waktu itu Rasulullah saw berusia 35 tahun menurut riwayat yang paling shahih.
Bukhari meriwayatkan di dalam shahihnya dari hadits Jabir bin Abdullah ra, ia berkata,”ketika Ka’bah dibangun, Nabi saw dan Abbas pergi mengusung batu. Abbas berkata kepada Nabi saw, ‘singkirkan kainmu diatas lutut.’ Nabi saw lalu mengikatkannya.”
Nabi saw memiliki pengaruh besar dalam menyelesaikan kemelut yang timbul akibat perselisihan antar kabilah tentang siapa yang berhak mendapatkan kehormatan meletakkan Hajar Aswad ditempatnya. Semua pihak tunduk kepada usulan Nabi saw karena mereka mengenalnya sebagai Al-Amin (terpercaya) dan mencintainya.

2.4                          Menyendiri (IKHTILA’) di Gua Hira’
Mendekati usia empat puluh tahun, mulailah tumbuh pada diri Nabi saw kecenderungan untuk melakukan uzlah. Allah menumbuhkan pada dirinya rasa senang untuk melakukan ikhtila’ menyendiri di Gua Hira’ (Hira’ adalah nama sebuah gunung yang terletak di sebelah Barat Laut Kota Makkah), suatu gua yang tidak terlalu besar, yang panjangnya empat hasta. Kadang-kadang keluarga beliau ada yang menyertai kesana. Selama bulan Ramadhan beliau berada di gua ini, dan tak lupa memberikan makanan kepada setiap orang miskin yang juga datang kesana. Ia menyendiri dan beribadah di Gua tersebut selama beberapa malam. Kadang sampai sepuluh malam dan kadang lebih dari itu, sampai satu bulan. Setelah itu beliau kembali ke rumah sejenak hanya untuk mengambil bekal baru untuk melanjutkan ikhtila’a di Gua Hira’. Beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah, memikirkan keagungan alam disekitarnyadan kekuatan tak terhingga di balik alam.
Pilihan beliau untuk mengasingkan diri ini termasuk satu sisi dari ketentuan Allah swt atas diri beliau, selagi langkah persiapan untuk menerima utusan besar sedang ditunggunya, ruh manusia mana pun yang realitas kehidupannya akan disusupi suatu pengaruh dan di bawa kea rah lain, maka ruh itu harus dibuat kosong dan mengasingkan diri untuk beberapa saat, dipisahkan dari berbagai kesibukan duniawi dan gejolak kehidupan serta kebisingan manusia yang membuatnya sibuk pada urusan kehidupan.
Begitulah Allah mengatur dan mempersiapkan kehidupan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk mengemban amanat yang besar, mengubah wajah dunia dan meluruskan garis sejarah. Allah telah mengatur pengasingan ini selama tiga tahun bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum membebaninya dengan risalah. Beliau pergi untuk mengasingkan diri ini selama jangka waktu sebulan, dengan sertai ruh yang suci sambil mengamati kegaiban yang tersembunyi dibalik alam nyata, hingga tiba saatnya berhubungan dengan keghaiban itu tatkala Allah telah memperkenalkannya.       

2.5       Permulaan Wahyu
Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah Ra, menceritakan cara permulaan wahyu, ia berkata,
            “Wahyu yang diterima Rasulullah SAW dimulai dengan suatu mimpi yang benar. Dalam mimpi itu, beliau melihat cahaya terang laksana fajar menyingsing di pagi hari. Setelah itu, beliau digemarkan (oleh Allah) untuk melakukan Khalwat (‘Uzlah). Beliau melakukan Khalwat di Gua Hira – melakukan ibadah – selama beberapa malam kemudian pulang kepada keluarganya (Khadijah) untuk mengambil bekal. Demikianlah berulang-ulang hingga suatu saat beliau dikejutkan dengan datangnya kebenaran di Gua Hira. Pada suatu hari, datanglah malaikat lalu berkata, ‘Bacalah’. Beliau menjawab,’aku tidak dapat membaca. ‘Rasulullah SAW menceritakan lebih lanjut, ‘malaikat itu lalu mendekatiku dan memelukku sehingga aku merasa lemah sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, ‘Bacalah’ aku menjawab, ‘aku tidak dapat membaca.’ Ia mendekatiku lagi dan mendekapku sehingga merasa tidak berdaya sama sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata, ‘Bacalah’ aku menjawab, ‘aku tidak dapat membaca.’ Untuk kali yang ketiga ia mendekati dan memelukku hingga aku merasa lemas, kemudian aku dilepaskan. Selanjutnya, ia berkata lagi, ‘Bacalah dengan Nama Rabb-Mu yang telah menciptakan… Menciptakan manusia dari segumpal darah…’ dan seterusnya.’
Rasulullah segera pulang dalam keadaan gemetar sekujur badannya menemui Khadijah, lalu berkata, ‘selimutilah aku…, selimutilah aku…’beliau kemudian diselimuti hingga hilang rasa takutnya. Setelah itu, ia berkata kepada Khadijah, ‘Hai Khadijah, tahukah engkau mengapa aku tadi begitu?’ lalu beliau menceritakan apa yang baru dialaminya. Selanjutnya beliau berkata, ‘aku sesungguhnya khawatir terhadap diriku (dari gangguan makhluk jin).’ Khadijah menjawab, ‘tidak! Bergembiralah! Demi Allah, Allah sama sekali tidak akan membuat anda kecewa. Anda seorang yang suka menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang susah, menghoramati tamu, dan membela oang yang berdiri di atas kebenaran.’
            Beberapa saat kemudian Khadijah mengajak Rasulullah SAW pergi menemui Waraqah bin Naufal, salah seorang paman Siti Khadijah. Pada masa jahiliyah ia memeluk agama Nasrani. Ia dapat menulis huruf Ibrani bahkan pernah menulis bagian-bagian dari Injil dalam Bahasa Ibrani. Ia seorang yang sudah lanjut usia dan telah kehilangan penglihatan. Kepadanya Khadijah berkata,
            ‘Wahai anak pamanku, dengarkanlah apa yang hendak dikatakan oleh anak lelaki saudaramu (Muhammad SAW).’Warakah bertanya kepada Muhammad SAW, ’Hai anak saudaraku, ada apakah gerangan?’ Rasulullah SAW kemudian menceritakan apa yang dilihat dan dialaminya di Gua Hira. Setelah mendengarkan keterangan Rasulullah SAW, waraqah berkata, ‘itu adalah malaikat yang pernah diutus Allah pada Musa. Alangkah bahagianya seandainya aku masih muda perkasa! Alangkah gembiranya seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu!’ Rasulullah bertanya, ‘apakah mereka akan mengusirku?‘ Waraqah menjawab, ‘iya. Tak seorang pun yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan diperangi. Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang akan kamu hadapi, pasti kamu ku bantu sekuat tenagaku.’ Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia dan untuk beberapa waktu lamanya Rasulullah tidak menerima wahyu.”
            Ath-Thabari dan Ibnu Hisyam meriwayatkan, yang intinya menjelaskan bahwa beliau pergi meninggalkan gua Hira’ setelah mendapat wahyu, lalu menemui istri beliau dan pulang ke Mekkah.
Terjadi perselisihan tentang beberapa lama wahyu tersebut terhenti. Ada yang mengatakan 3 tahun dan ada pula yang mengatakan kurang dari itu. Pendapat yang lebih kuat ialah apa yang diriwayatkan oleh Baihaqi bahwa masa terhentinya wahyu tersebut selama  6 bulan.
Tentang kedatangan Jibril yang kedua, Bukhari meriwayatkan sebuah riwayat dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, “aku mendengar Rasulullah SAW berbicara tentang terhentinya wahyu. Beliau berkata kepadaku mengenai hal ini
‘Disaat aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari langit. Ketika kepala ku angkat, ternyata malaikat yang datang kepadaku di Gua Hira kulihat sedang duduk di kursi antara langit dan bumi. Aku segera pulang menemui istriku dan ku katakan kepadanya selimutilah aku… selimutilah aku… selimutilah aku…! Sehubungan dengan hal itu, Allah SWT kemudian berfirman, Hai orang yang berselimut, bangunlah dan beri peringatan Agungkanlah Rabb-Mu, sucikanlah pakaianmu dan jauhilah perbuatan dosa… (QS. Al-Muddatstsir)”
Sejak itu,  wahyu mulai diturunkan secara kontinue. 

BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan
Di dalam nasab Nabi saw yang mulia tersebut terdapat beberapa dalil yang jelas bahwa Allah mengutamakan bangsa Arab dari semua manusia dan mengutamakan Quraisy dari semua kabilah yang lain. Hal ini dengan jelas diriwayatkan dengan Muslim juga Tirmidzy yang semakna. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di atas mimbar kemudian bersabda :
مَنْ أَنَا؟ فَقَالُوا أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ عَلَيْكَ السَّلاَمُ، فَقَالَ أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ المطَّلِبِ، إِنَّ اللهَ خَلَقَ الخَلْقَ، ثمَّ جَعَلَهُمْ فِرْقَتَيْنِ فِى خَيْرِهِمْ فِرْقَةً، ثُمَّ جَعَلَهمْ قَبَائِلَ وَجَعَلَنِى خَيْرِهِمْ قَبِيْلَةً، ثمّ جَعَلَهُمْ بُيُوْتًا فَجَعَلَنِى فِى خَيْرِهِمْ بَيْتًا وَخَيْرُهُمْ نَفْسًا.
Hadits Bahira tentang Rasulullah saw, yakni hadits yang diriwayatkan oleh Jumhur Ulama Sirah dan para rawinya dan dikeluarkan oleh Tirmizy secara panjang lebar dari Hadits Abu Musa Al Asy’ari menunjukkan bahwa para ahli kitab Yahudi dan Nasrani memiliki pengetahuan tentang Bi’tsah Nabi dengan mengetahui tanda-tandanya. Ini mereka ketahui dari berita kenabiannya serta penjelasan tentang tanda-tanda dan sifat-sifatnya yang terdapat di dalam Taurat dan Injil.
Hadits mengenai permulaan wahyu merupakan asas yang menentukan semua hakikat agama dengan segala keyakinan dan syari’atnya. Memahami dan meyakini kebenaranna merupakan syarat mutlak untuk meyakini semua berita gha’ib dan masalah syari’at yang dibawa Nabi saw. Sebab, hakikat wahyu ini merupakan satu-satunya faktor pembeda antara manusia yang berfikir dan membuat syari’at dengan akalnya sendiri dan manusia yang hanya menyampaikan syari’at dari Rabb-Nya tanpa mengubah, mengurangi dan menambah.


3.2       Saran dan Kritik
            Makalah ini hanya sebagian kecil saja menguraikan tentang Sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Nasab hingga kenabian. Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna banyak sekali kesalahan dan kekurangan, baik dari segi penulisan maupun dari penyusunan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca. Akhirnya penyusun mengucapkan Alhamdulillah atas terselesaikannya makalah ini. Dan mohon maaf atas segala kekurangan dan keterbatasan.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy. 2010. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Rabbani Press
Dr. Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri. 2011. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar



[1]  Sirah Nabawiyah, Syeikh shafiyyurrahman al-mubarakfury.2011.putaka al-kautsar, hal.45
[2] Ibid
[3] ibid
[4] ibid
[5] ibid
[6] Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hasyim, 1/159;Muhadharat Tarikhil-Umam Al-Islamiyyah, Al-Khadhri, 1/62. Ada perbedaan pendapatan, beliau dilahirkan dalam keadaan sudah dikhitan. Lihat Tallqihu Fuhumi Ahli-Atsar, hal.4 Ibnul-Qayyim berkata,”Tidak ada hadits yang kuat mengenai hal ini.” Lihat Zadul-Ma’had, 1/18.
[7] Sirah Nabawiyah, Dr.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, hal.32
[8] Sirah Nabawiyah, Syeikh shafiyyurrahman al-mubarakfury.2011.putaka al-kautsar, hal.48
[9] Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, 1/168; Talqihu Fuhumi ahlil-Atsar, hal.8; Muhadharat Tarikhil-Umam Al-Islamiyah, Al-Khadry, 1/63; Fiqhis-Sirah, hal.50
[10] Sirah Nabawiyah, Syeikh shafiyyurrahman al-mubarakfury.2011.putaka al-kautsar, hal.49
[11] Sirah Nabawiyah, Dr.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, hal.37
[12] Fiqhus-Sirah, Muhammad Al-Ghazali, hal 52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar