Selasa, 10 Januari 2012

Makalah Shirah Nabawiyah : Bani Qainuqo, Perang Uhud dan Tragedi Ar-Raji' dan Bi'ru Maunah


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sejarah kehidupan kaum muslimin khususnya pada masa kehidupan Rasulullah dan para sahabat telah mencatatkan kejadian-keajadian dan peristiwa luar biasa serta penuh hikmah yang membuat decak kagum kaum muslimin hingga saat ini.Selain itu sirah dapat menjadi rujukan kaum muslimin ketika memutuskan dan meyelesaikan  suatu masalah yang sedang dialami kaum muslimin, menentukan gerakan dalam dakwah, kajian ushuluddin dan sebagainya. Sirah nabawiyah sebenarnya adalah contoh ideal dan paling aplikatif untuk dijadikan sebuah rujukan dakwah bagi para da’i , juga sebagai sarana mengkaji dan memahami islam secara sempurna.
Dari masa ke masa kajian dan penulisan sirah nabawiyah selalu menjadi tema yang menarik untuk dipelajari. Sesungguhnya ummat muslim sejak masa kehidupan Rasulullah SAW memiliki peradaban yang mencakup seluruh aspek sosial dan kemanusiaan yang ada pada manusia, baik sebagai pribadi maupun menjadi anggota masyarakat yang aktif. Oleh karenya kami mencoba menberikan catatan beberapa peristiwa yang dialami kaum muslimin pada masa kehidupan Rasulullah SAW kepada para mahasiswa dengan harapan dapat menjadi sebuah sarana dan bahan diskusi kita dalam mengkaji sirah nabawiyah.

1.2  Metode Pembuatan Makalah
Data penulisan makalah ini diperoleh dengan metode studi kepustakaan. Metode studi kepustakaan yaitu suatu metode dengan membaca telaah pustaka tentang Sirah Nabawiyah dari sumber yang terkait. Selain itu, tim penyusun juga memperoleh dan mengambil data dari akses internet.

1.3 Tujuan Pembuatan Makalah
1.    Sebagai sarana dan bahan mengkaji dan menelit sirah nabawiyah.
2.    Untuk mengetahui sirah nabawiyah.
3.    Sebagai bahan diskusi mahasiswa dalam mengkaji sirah nabawiyah.
4.    Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah sirah nabawiyah.
5.    Sebagai sarana telaah pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Banu Qainuqa‘ Pengkhianatan Pertama Kaum Yahudi terhadap Kaum
Muslimin
Ibnu Ishaq berkata: Pada suatu kesempatan Rasulullah saw mengumpulkan Banu Qunaiqa‘ di pasar Qunaiqa‘ kemudian bersabda: “Wahai kaum Yahudi, takutlah kalian kepada murka Allah yang pernah ditimpahkan-Nya kepada kaum Quraisy. Masuklah kalian ke dalam Islam karena sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa aku adalah Nabi yang diutus (Allah), sebagaimana kalian dapati di dalam Kitab kalian dan Janji Allah kepada kalian!“ Jawab mereka: “Wahai Muhammad, apakah kamu mengira kami ini seperti kaummu? Janganlah kamu membanggakan kemenangan terhadap suatu kaum yang tidak mengerti ilmu peperangan. Demi Allah, seandainya kami yang kamu dapati dalam peperangan, niscaya kamu akan mengetahui siapa sebenarnya kami ini!“.
Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Abdullah bin Ja‘far bin al-Musawwir bin Makhramah dari Abu 'Uwaha bahwa, seorang wanita Arab datang membawa perhiasannya ke tempat perdagangan Yahudi Banu Qainuqa‘. Ia mendatangi seorang tukang sepuh untuk menyepuhkan perhiasannya. Ia kemudian duduk menunggu sampai tukang sepuh Yahudi itu menyelesaikan pekerjaannya. Tiba-tiba datanglah beberapa orang Yahudi berkerumun mengelilinginya dan minta kepada wanita Arab itu, secara diam-diam si tukang sepuh itu menyangkutkan ujung pakaiannya yang menutup seluruh tubuhnya pada bagian punggungnya.
Ketika wanita itu berdiri terbukalah aurat bagian belakangnya. Orang-orang Yahudi yang melihatnya tertawa gelak-bahak. Wanita itu menjerit minta pertolongan. Mendengar teriakan itu, salah seorang dari kaum Muslimin yang berada di perniagaan itu secara kilat menyerang tukang sepuh Yahudi dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi yang berada di tempat itu kemudian mengeroyoknya hingga orang Muslim itu pun mati terbunuh. Tindakan orang-orang Yahudi yang membunuh orang Muslim itu menyebabkan kemarahan kaum Muslimin, sehingga terjadilah peperangan antara kaum Muslimin dengan orang-orang Yahudi Banu Qunaiqa‘. Dengan demikian, mereka adalah kaum Yahudi pertama kali melanggar perjanjian yang diadakan di antara mereka dengan Nabi saw.
Insiden ini menurut riwayat ath-Thabary dan al-Waqidy, terjadi pada pertengahan bulan Syawawal tahun kedua Hijrah.Kemudian Rasulullah saw mengepung mereka selama beberapa hari hingga mereka menyerah dan menerima hukuman yang akan diputuskan oleh Rasulullah saw. Setelah mereka berada di bawah kekuasaan beliau, datanglah Abdullah bin Ubay lalu berkata :"Hai Muhammad, perlakukanlah para sahabatku itu dengan baik.“
Permintaan Abdullah bin Ubay itu tidak diindahkan oleh Rasulullah saw. Abdullah bin Ubay mengulangi lagi permintaannya, tetapi beliau saw berpaling muka sambil memasukkan tangannya ke dalam baju besinya. Wajah beliau tampak marah, hingga raut wajahnya tampak merah padam. Beliau mengulangi kembali ucapannya sambil memperlihatkan kemarahannya :
"Celaka engkau, tinggalkan aku!“. Abdullah bin Ubay menyahut: “Tidak, demi Allah, aku tidak akan melepaskan anda sebelum anda mau memperlakukan para sahabatku itu dengan baik. Empat ratus orang tanpa perisai dan tiga ratus orang bersenjata lengkap telah membelaku terhadap semua musuhku itu, apakah hendak anda habisi nyawanya dalam waktu sehari? Demi Allah, aku betul-betul mengkhawatirkan terjadinya bencana itu!“. Rasulullah saw akhirnya berkata: “Mereka itu kuserahkan padamu dengan syarat mereka harus keluar meninggalkan Madinah dan tidak boleh hidup berdekatan dengan kota ini.“
Orang-orang Yahudi Banu Qainuqa‘ itu kemudian pergi meninggalkan Madinah menuju sebuah pedusunan bernama 'Adzara‘at di daerah Syam. Belum berapa lama tinggal di sana, sebagian besar dari mereka mati ditimpa bencana.
Sebagai seorang Muslim yang memiliki hubungan "persekutuan“ dengan orang-orang Yahudi Banu Qainuqa‘, sebagaimana Abdullah bin Ubay, maka 'Ubadah bin Shamit pun datang menemui Rasulullah saw, lalu berkata: “Sesungguhnya aku memberikan loyalitas kepada Allah swt, Rasul-Nya dan kaum Mukminin, dan aku melepaskan diriku dari ikatan persekutuan dengan orang-orang kafir tersebut.”
Sehubungan dengan kedua orang (Abdullah bin Ubay dan 'Ubadah bin Shamit) inilah Allah menurunkan firman-Nya :
"Hai orang-ornag yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Siapa saja di antara kamu mengambil mereka menjadi pimpinan, sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafiq) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana“. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Oleh sebab itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.“ QS Al-Maidah (5)

2.2.  Beberapa Ibrah
Peristiwa ini secara keseluruhan menunjukkan watak pengkhianatan orang-orang Yahudi. Mereka tidak pernah putus sebelum dapat mengkhianati orang-orang yang bertetangga atau bergaul dengan mereka. Dengan menghalalkan segala cara mereka siap melaksanakan pengkhianatan.
Dengan peristiwa ini terdapat beberapa pelajaran dan prinsip di antaranya :
1.        Hijab (Cadar) Wanita Muslimah.Seperti kita ketahui bahwa biang keladi peristiwa (pengusiran Yahudi Banu Qainuqa‘) ini berawal justru gara-gara ulah mereka sendiri, yaitu membuat onar dengan cara berusaha memaksa untuk membuka tutup muka wanita Muslimah ketika wanita tersebut datang ke pasar mereka untuk menyepuhkan perhiasannya.Sumber terjadinya peristiwa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam ini tidak bertentangan dengan riwayat lain yang menyebutkan bahwa sebab timbulnya peristiwa ini ialah kedengkian orang-orang Yahudi terhadap kemenangan kaum Muslimin di perang Badr sehingga mereka berkata kepada Rasulullah saw :
"Demi Allah, seandainya kami yang kamu hadapi dalam peperangan, niscaya kamu akan mengetahui siapa sebenarnya kami ini ?“
Berkemungkinan dua sebab tersebut memang terjadi kedua-duanya bahkan yang satu saling menyempurnakan yang lainnya. Karena tidak mungkin Rasulullah saw melakukan pembatalan perjanjian dengan mereka hanya karena munculnya tanda-tanda pengkhianatan dalam perkataan mereka. Di samping itu, pasti mereka telah melakukan tindakan-tindakan pengkhianatan kepada kaum Muslimin sebagaimana dinyatakan oleh riwayat Ibnu Hisyam tersebut.Peristiwa ini menunjukkan bahwa hijab yang disyariatkan oleh Islam kepada wanita ialah dengan menutup muka. Seandainya tidak demikian, niscaya wanita tersebut tidak perlu ke luar rumah dengan menutup mukanya. Seandainya menutup muka bagi kaum Muslimah bukan menjadi hukum agama yang diperintahkan Islam, niscaya orang-orang Yahudi itu tidak akan memaksa wanita Arab tersebut untuk membuka tutup mukanya. Sebab dengan tindakan ini mereka hanya bermaksud menodai perasaan keagamaannya yang secara jelas-jelas nampak dalam pakaiannya.Mungkin ada orang membantah bahwa peristiwa yang hanya diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam ini terdapat sedikit kelemahan dalam periwayatannya, sehingga tidak kuat untuk menetapkan hukum seperti ini. Tetapi riwayat ini ternyata juga dikuatkan oleh sejumlah Hadits Shahih, di antaranya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah ra, dalam Bab Pakaian Bagi Orang Yang Ihram, ia berkata :

"Janganlah ia (wanita yang sedang berikhram) menutup muka dengan cadar dan memakai pakaian yang dicelup dengan waras (wewangian) atau za‘faran“.

Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Malik di dalam al-Mawaththa dari Nafi‘ bahwa Abdullah bin Umar pernah berkata :
"Tidak boleh wanita yang sedang ihram memakai cadar muka, begitu pula memakai sarung tangan.“
Apa arti larangan memakai cadar (tutup muka) bagi wanita yang sedang melakukan ihram di waktu melaksanakan haji? Mengapa larangan ini khusus bagi wanita saja, tidak termasuk lelaki? Tidak diragukan lagi bahwa larangan atau pengecualian ini menunjukkan bahwa menutup muka (memakai cadar) merupakan sesuatu yang biasa dilakukan oleh wanita Muslimah di luar pelaksanaan haji.Juga hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya dari Fatimah binti Qais bahwa setelah dia diceraikan oleh suaminya, Rasulullah saw memerintahkannya supaya dia (Fatimah binti Qais) menunggu masa iddah di rumah Ummu Syarik, kemudian Rasulullah saw memberitahukan kepadanya bahwa rumah Ummu Syarik banyak dihuni oleh para sahabatnya (sahabat Nabi saw). Akhirnya Rasulullah saw memerintahkan Fatimah binti Qais agar menunggu masa iddah-nya di rumah anak paman Fatimah binti Qais yaitu Ibnu Ummi Maktum, karena dia (Ibnu Ummi Maktum) seorang buta yang tidak akan melihat manakala ia melepas kerudungnya. Itulah dalil-dalil yang mewajibkan wanita Muslimah agar menutup muka dan seluruh anggota tubuhnya dari lelaki asing.Adapun dalil-dalil yang melarang lelaki melihat wanita termasuk wajahnya , dapat kami sebutkan di antaranya:
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi dari Barirah ra, ia berkata :Rasulullah saw bersabda kepada Ali :
"Wahai Ali, janganlah kamu melihat (wanita) pandang demi pandang, karena kamu hanya punya hak pada pandangan yang pertama tetapi tidak pada pandangan kedua (dan seterusnya).“
Dalam riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas ra. Disebutkan bahwa Fadlal bin Abbas pernah mengikuti di belakang Rasulullah saw pada hari penyembelihan qurban. Pada kesempatan ini Nabi saw ditanya oleh seorang wanita dari suku Khats‘amiah yang terkenal ceriwis. Ketika itu Fadlal memandang agak lama kepada wanita tersebut, lalu Rasulullah saw memegang dagu Fadlal dan memutarnya kebelakang.
Di dalam kandungan Hadits-hadits di atas terdapat dua larangan. Larangan bagi wanita untuk membuka wajahnya atau salah satu bagian dari anggota tubuhnya di hadapan lelaki asing, dan larangan bagi kaum lelaki untuk melihatnya. Kiranya Hadits-hadits yang telah kami sebutkan di atas cukup sebagai dalil bahwa , wajah wanita adalah aurat di hadapan lelaki asing kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu seperti, dharurat berobat, belajar, kesaksian dan lain sejenisnya.Tetapi di antara Imam Madzhab ada yang berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukan aurat yang wajib ditutup. Mereka menafsirkan hadits-hadits mengenai masalah ini sebagai perintah yang bernilai anjuran (nadb), bukan wajib. Kendatipun demikian, semua fuqaha telah menyepakati bahwa seorang lelaki (asing, bukan muhrim) tidak boleh melihat salah satu anggota tubuh wanita dengan syahwat, dan wajib atas wanita menutup mukanya manakala kefasikkan telah menyebar luas sedemikian rupa di tengah-tengah masyarakat, karena semua orang yang memandangnya adalah orang-orang fasik dan bermata jalang.Jika anda perhatikan kondisi kaum Muslimin sekarang dengan segala kefasikkan dan kemungkaran, akibat lemahnya pembinaan dan akhlak, niscaya anda akan menyadari bahwa tidak ada alasan untuk membolehkan wanita membuka wajahnya dalam kondisi seperti itu. Sesungguhnya jurang berbahaya yang sedang dilalui masyarakat Islam dewasa ini menuntut hati-hati dan pengetatan-pengetatan sampai kaum Muslimin mampu melewati tahapan berbahaya tersebut dan mampu pula menguasai serta mengendalikan masalah yang dihadapinya.Atau dengan ungkapan lain, sesungguhnya orang yang selalu mengambil rukshah (kelonggaran) dan kemudahan-kemudahan agama, lambat laun akan menghanyutkan diri yang bersangkutan kepada tindakkan melepaskan diri dari kewajiban secara keseluruhan selagi tidak ada arus sosial Islam yang mengendalikan keringan-keringanan tersebut dalam suatu Manhaj Islami yang bersifat umum dan memeliharanya dari segala bentuk pelampauan batas yang disyariatkan.Tetapi anehnya ada sebagian orang yang berpegang teguh kepada apa yang mereka namakan perubahan hukum mengikuti perubahan jaman, dalam masalah keringanan, kemudahan dan usaha-usaha melepaskan diri dari kewajiban saja, namun mereka tidak menyebutkan kaidah tersebut sama sekali ketika situasi menuntut kebalikan daripadanya, sampai sekarang saya belum mendapatkan satu contoh yang lebih tepat untuk menerapkan kaidah perubahan hukum mengikuti perubahan jaman selain dari keharusan menetapkan kewajiban menutup wajah bagi wanita, mengingat tuntutan-tuntutan jaman pada masa kita hidup sekararang ini di samping mengingat banyaknya ranjau-ranjau yang menuntut kita agar lebih banyak berhati-hati dan berwaspada dalam meniti dan melangkahkan kaki, sambil menunggu datangnya pertolongan Allah dalam mewujudkan masyarakat Islam yang kita cita-citakan.

2.        Insiden yang timbul karena Yahudi banu Qainuqa‘ ini menunjukkan kedengkian yang terpendam selama ini di dalam hati mereka terhadap kaum Muslimin. Tetapi mengapa bukti-bukti kedengkian itu baru muncul dan terbongkar setelah sekitar tiga tahun mereka memendam kedengkian tersebut ?Jawabannya, karena sesuatu yang menyulut kedengkian yang telah lama membara di dalam dada mereka itu ialah peristiwa kemenangan kaum Muslimin pada perang Badr. Suatu kemenangan yang tidak pernah mereka bayangkan sama sekali. Hati mereka terbakar oleh kedengkian dan kebencian. Sementara itu mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk menumpahkannya, sehingga akhirnya mereka melakukan tindakkan-tindakkan tersebut. Kedengkian mereka terhadap kaum Muslimin itu tampak jelas dengan sungutan dan cibiran mereka terhadap kemenangan kaum Muslimun pada perang Badr, sebagaimana dapat kita baca dalam beberapa riwayat.Ibnu Jurair meriwayatkan bahwa Malik bin Shaif salah seorang Yahudi berkata kepada sebagian kaum Muslimin ketika mereka kembali dari perang Badr :
"Janganlah kalian tertipu oleh kemenangan terhadap kaum Quraisy yang tidak mengerti ilmu peperangan! Seandainya kalian menghadapi kami, niscaya kalian tidak akan berdaya …:“
Seandainya orang-orang itu menghormati "perjanjian“ yang telah mereka sepekati dengan kaum Muslimin dipastikan tidak akan ada seorang pun dari kaum Muslimin yang mengusik dan menyakiti mereka. Tetapi mereka tidak menghendaki selain kejahatan, sehingga kejahatan itu sendiri kembali kepada diri mereka.

3.        Perlakuan Islam kepada Orang Munafik.Peristiwa ini berikut pembelaan Abdullah bin Ubay kepada orang-orang Yahudi dalam bentuk yang telah kita ketahui dengan jelas membeberkan kemunafikan orang tersebut. Dari sikapnya itu jelaslah sudah bahwa dia adalah seorang munafik yang menyimpan kedengkian dan kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin.Tetapi kendatipun demikian, Rasulullah saw tetap memperlakukannya selaku seorang Muslim. Beliau tidak menggugat kemunafikkannya. Tidak juga memperlakukannya sebagai seorang musyrik atau murtad atau yang berdusta dalam menganut Islam. Bahkan Rasulullah saw meluluskan permintaan dan tuntutannya itu.Ini menunjukkan sebagaimana disepakati para ulama bahwa orang munafik selama di dunia harus diperlakukan oleh kaum Muslimin sebagai seorang Muslim. Mereka harus diperlakukan sebagai orang-orang Muslim sekalipun kemunafikannya telah dapat dipastikan. Ini karena hukum-hukum Islam secara keseluruhan terdiri dari dua aspek. Aspek yang harus diterapkan di dunia di mana kaum Muslimin berkewajiban menerapkannya dalam masyarakat mereka, dengan dipimpin oleh seorang Khalifah atau kepada negara. Dan Aspek lain yang akan diterapkan kelak di akherat, yang pada saat itu segala urusan dikembalikan kepada Allah swt semata.Sejauh menyangkut aspek yang pertama, seluruh persoalannya harus didasarkan kepada bukti-bukti hukum yang bersifat material dan empirik, karena setiap keputusan hukum didasarkan kepadanya. Alasan-alasan yang didasarkan kepada keyakinan dalam hati dan kesimpulan dari indikasi, tidak boleh digunakan di sini.Adapun aspek yang kedua, maka sepenuhnya didasarkan kepada keyakinan dalam hati dan yang akan bertindak mengadili adalah Allah swt. Kaidah ini dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Umar ra:
"Kami sekarang ini memutuskan (perkara) hanya berdasarkan kepada amalan kalian yang bersifat lahiriah“
Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda :
"Sesungguhnya kalian mengadukan perkara kepadaku, yang mungkin saja sebagian orang di antaranya kalian lebih pandai berhujjah daripada yang lainnya sehingga aku memutuskan perkaranya berdasarkan apa yang aku dengar. Maka siapa saja yang mendapatkan keputusan dariku dengan kuberikan sesuatu yang sebenarnya menjadi hak saudaranya, hendaklah ia tidak mengambilnya karena itu hanyalah segenggam dari api neraka.“
Hikmah ditetapkan kaidah ini, agar keadilan di antara manusia tetap terpelihara dan tidak menjadi ajang permainan. Sebab, mungkin saja ada sebagian penguasa memutuskan suatu perkara semata-mata berdasarkan kepada hal-hal yang bersifat dorongan perasaan dan keyakinan hari, hanya karena ingin bertindak dzalim kepada sebagian orang.
Sebagai pelaksanaan terhadap kaidah syariat inilah maka Rasulullah saw kendatipun banyak mengetahui ikhwal kaum Munafiqin dan apa yang terpendam di hati mereka melalui wahyu Allah swt, dalam Hukum-hukum syariat secara umum memperlakukan mereka (Munafiqin) sebagaimana halnya terhadap kaum Muslimin tanpa membeda-bedakan.
Ini tidak bertentangan dengan kewajiban kaum Muslimin untuk bersikap hati-hati terhadap kaum Munafiqin dan bertindak arif dalam menghadapi berbagai tindakkan mereka. Kerena hal ini merupakan kewajiban kaum Muslimin pada setiap waktu dan situasi.









2.3. Perang Uhud
Peperangan ini terjadi karena pada tokoh Quraisy yang tidak terbunuh pada perang Badr bersepakat untuk membalaskan dendam orang-orang yang terbunuh di Badr. Mereka ingin membentuk pasukan besar guna menghadapi Muhammad saw, dengan dukungan dana dari seluruh kekayaan yang dibawa oleh kafilah Abu Sofyan. Keinginan ini akhirnya disetujui oleh seluruh kaum Quraisy dengan didukung pula oleh unsur-unsur yang dikenal dengan nama Al-Ahabisy (suku-suku lain di sekitar Mekkah yang terikat perjanjian dengan suku Quraisy)- Bahkan mereka mengerahkan kaum wanita untuk mencegah larinya para tentara dari medan perang apabila kaum Muslimin melancarkan serangan kepada mereka. Kaum Quraisy keluar meninggalkan Mekkah dengan tiga ribu tentara.
Setelah mendengar berita tersebut, Rasulullah saw lalu mengadakan musyawarah dengan para shahabatnya. Dalam musyawarah ini Rasulullah saw menawarkan kepada mereka antara keluar menjemput musuh di luar kota Madinah atau bertahan di dalam kota Madinah, jika musuh datang menyerang kota Madinah barulah kaum Muslimin menghadapi mereka dalam kota. Dari kalangan orang-orang tua, termasuk Abdullah bin Ubay bin Salul memilih tawaran (bertahan di dalam kota Madinah) sedangkan sebagian besar dari para sahabat yang tidak berkesempatan ikut perang Badr berkeinginan menghadapi musuh di luar kota Madinah, lalu mereka berkata:
"Wahai Rasulullah saw, bawalah kami ke luar menghadapi musuh kita agar mereka tidak menganggap kita takut dan tidak mampu menghadapi mereka.“
Golongan ini terus saja mendesak Rasulullah saw agar mau mengadakan perang di luar Madinah, sampai akhirnya beliau menyetujuinya. Kemudian Rasulullah saw masuk rumahnya lalu mengenakan baju perang dan mengambil senjatanya.
Melihat ini, lalu orang-orang yang mendesak Rasulullah saw tersebut menyesali diri karena mereka telah memaksa Rasulullah saw untuk melakukan sesuatu yang tidak diingininya sehingga mereka berkata kepada Rasulullah saw :
"Ya Rasulullah saw, kami tadi telah mendesak anda untuk keluar padahal tidak selayaknya kami berbuat demikian. Karena itu jika anda suka duduklah saja.“
Tetapi Rasulullah saw menjawab :
"Tidak pantas bagi seorang Nabi apabila telah memakai pakaian perangnya untuk meletakkannya kembali sebelum berperang.“
Kemudian Nabi saw keluar dari Madinah bersama seribu orang pasukannya menuju Uhud, pada hari Sabtu tanggal 7 Syawwal, tiga puluh dua bulan setelah Hijrah beliau. Ketika di tengah perjalanan antara Madinah dan Uhud, Abdullah bin Ubay bersama sepertiga pasukan umumnya terdiri dari pada pendukungnya melakukan desersi dan kembali pulang dengan alasan yang dikemukakannya:

"Dia (Nabi saw) tidak menyetujui pendapatku bahkan menyetujui pendapat anak-anak ingusan dan orang-orang awam. Kami tidak tahu untuk apa kami harus membunuh diri kami sendiri.“

Abdullah bin Harram berusaha mencegah mereka dan memperingatkan agar mereka tidak mengkhianati Nabi saw. Tetapi mereka menolak, bahkan tokoh mereka menjawab: “Seandainya kami tahu akan terjadi peperangan niscaya kami tidak akan mengikuti kalian.“
Bukhari meriwayatkan bahwa kaum Muslimin berselisih pendapat dalam menanggapi tindakkan desersi ini. Sebagian mengatakan: “Kita perangi mereka“, sedangkan sebagian yang lain mengatakan: “Biarkan mereka“. Lalu turunlah firman Allah swt mengenai hal itu :
"Maka mengapa kamiumenjadi dua golongan dalam menghadapi orang-ornag munafiq, padahal Allah swt telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu ingin memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan oleh Allah swt? Siapa pun yang disesatkan oleh Allah swt, sekali-kali kamu tidak mungkin mendapatkan jalan untuk memberi petunjuk kepadanya.“ QS An-Nisa : 88.
Menghadapi peperangan ini, sebagian sahabat mengusulkan supaya meminta bantuan kepada orang-orang Yahudi, mengingat mereka terikat perjanjian untuk saling tolong-menolong dengan kaum Muslimin. Tetapi Rasulullah saw menjawab:
"Kita tidak akan pernah meminta bantuan kepada orang-orang Musyrik untuk menghadapi orang-orang musyrik lainnya.“
Kemudian Rasulullah saw bersama para sahabatnya jumlah mereka tidak lebih dari tujuh ratus tentara mengambil posisi di sebuah dataran di lereng gunung Uhud dan membentengi diri di balik gunung itu, menghadap ke arah Madinah. Beliau menempatkan lima puluh pasukan pemanah di atas bukit yang terletak di belakang kaum Muslimin itu. Rasulullah saw menunjuk Abdullah bin Jubair sebagai pimpinan pasukan pemanah. Kepada pasukan pemanah Rasulullah saw berpesan :
"Berjagalah di tempat kalian ini dan lindungilah pasukan kita dari belakang. Bila kalian melihat pasukan kita berhasil mendesak dan menjarah musuh, janganlah sekali-kali kalian turut serta menjarah. Demikian pula andai kalian melihat pasukan kita banyak yang gugur, janganlah kalian bergerak membantu.“
Rafi‘ bin Khudaij dan Samurah bin Jundab keduanya berusia lima belas tahun, meminta kepada Rasulullah saw untuk ikut serta dalam peperangan ini. Karena terlalu muda, Rasulullah saw menolak permintaan tersebut. Tetapi setelah dijelaskan kepada beliau bahwa sesungguhnya Rafi‘ ahli memanah, akhirnya Rasulullah saw membolehkannya. Kemudian Samurah bin Jundab pun menghadap Rasulullah saw seraya berkata: “Demi Allah swt, aku bisa membantu Rafi‘.“ Akhirnya Rasulullah saw pun membolehkannya juga.
Pada hari menjelang Uhud, Rasulullah saw memegang sebilah pedang kemudian bertanya kepada pasukannya: "Siapakah di antara kalian yang sanggup memenuhi fungsi pedang ini?“ Abu Dujanah maju seraya menjawab: “Aku sanggup memenuhi fungsinya.“ Ia kemudian menerima pedang tersebut dari tangan Rasulullah saw. Ia mengeluarkan pedang tersebut dari tangan Rasulullah saw. Ia mengeluarkan selembar kain merah lalu diikatkan di kepala (kebiasaan Abu Dujanah jika ingin berperang sampai mati) kemudian ia berjalan mengelilingi barisan dengan membanggakan diri. Melihat ini Rasulullah saw bersabda :

"Sesungguhnya cara berjalan seperti itu dimurkai oleh Allah swt , kecuali pada tempat (dan peristiwa) seperti ini (perang).“

Kemudian Rasulullah saw menyerahkan panji kepada Mush‘ab bin Umair. Sementara itu pasukan sayap kanan kaum Musyrikin di bawah pimpinan Khalid bin Walid dan sayap kiri di bawah pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal.Perang campuh pun berlangsung sangat sengit. Dalam pertempuran ini kaum Muslimin berhasil menyerang kaum Musyrikin secara mengagumkan, terutama Abu Dujanah, Hamzah bin Abdul Muttalib dan Mush‘ab bin Umair.
Mush‘ab bin Umair gugur di hadapan Rasulullah saw kemudian panji diambil oleh Ali bin Abi Thalib. Tidak lama kemudian Allah swt menurunkan pertolongannya kepada kaum Muslimin sehingga kaum Musyrikin lari mundur terbirit-birit tanpa menghiraukan wanita-wanita mereka yang menyumpah serapah kepada mereka. Kaum Muslimin terus mengejar mereka seraya mengumpulkan barang rampasan. Melihat ini pasukan pemanah yang bertugas mengawal di atas bukit tertarik untuk turun mengambil barang-barang rampasan bersama para sahabatnya yang lainnya, kecuali pimpinan mereka, Abdullah bin Jubair, bersama beberapa orang tetap setia menjaga bukit seraya berkata: “Aku tidak akan melanggar perintah Rasulullah saw.“ Melihat bukit yang sudah tidak terjaga kecuali orang beberapa orang itu, Khalid bin Walid bersama pasukannya pun melancarkan serangan balik, dan diikuti oleh Ikrimah. Sehingga mereka berhasil membunuh pasukan pemanah yang masih setia mengawal bukti termasuk Abdullah bin Jubair. Dan mulailah mereka melancarkan serangan balik kepada kaum Muslimin dari arah belakang.
Pada saat itulah kaum Muslimin terhenyak, mulai terdesak dan diliputi oleh rasa takut, sehingga mereka berperang dengan tidak teratur lagi. Pasukan Musyrikin semakin gencar melancarkan serangan sampai mereka berhasil mendekati tempat di mana Rasulullah saw berada. Mereka melempari beliau dengan batu, hingga beliau luka parah pada bagian rahangnya. Sambil mengusap darah yang mengalir di wajahnya, Rasulullah saw bersabda :

"Bagaimana mungkin suatu kaum mendapat kemenangan, sedangkan mereka mengalirkan darah di wajah Nabinya yang mengajak mereka kepada jalan Allah swt.“

Kemudian Fatimah datang membersihkan darah dari wajahnya sementara Ali mencucinya dengan air. Setelah dilihat darah tetap mengucur akhirnya Fatimah mengambil pelepah kering lalu dibakarnya sampai menjadi abu kemudian abu itu diusapkan ke tempat luka dan barulah darah itu berhenti mengalir.
Di saat-saat kritis itu tersiarlah desas-desus bahwa Rasulullah saw gugur dalam pertempuran, sehingga mengguncangkan hati sebagian kaum Muslimin dan menyebabkan orang-orang yang lemah iman di antara mereka berkata: "Apa gunanya kita di sini jika Rasulullah saw telah gugur?“ Kemudian mereka lari meninggalkan medan pertempuran. Tetapi menanggapi isu ini Anas bin Nadhar berkata : “Bahkan untuk apa lagi kalian hidup sesudah Rasulullah saw gugur?“ Kemudian sambil menunjuk kepada orang-orang munafiq dan lemah iman, Anas bin Nadhar berkata: “Ya Allah sesungguhnya aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang mereka katakan itu, dan aku memohon ampun kepada-Mu atas apa yang mereka ucapkan itu.“ Kemudian Anas bin Nadhar melesat dengan membawa pedangnya menerjang kaum Musyrikin hingga gugur sebagai syahid.
Selama peristiwa ini tampaklah semangat pengorbanan dan pembelaan yang mengagumkan dari para sahabat Rasulullah saw yang selalu berada di sekitarnya. Mereka rela mengorbankan raga dan nyawa demi membela dan menyelamatkan Rasulullah saw.
Bukhari meriwayatkan bahwa ketika orang-orang meninggalkan Nabi saw, dengan memerisaikan dirinya dari desakan panah-panah kaum Musyrikin, Abu Thalhah adalah seorang pemanah ulung dan selalu tepat mengenai sasarannya. Setiap anak panah yang dilepaskan olehnya ke arah kaum Musyrikin selalu diamati oleh Rasulullah saw, pada sasaran manakah anak panah itu menancap. Kemudian Abu Thalhah berkata: “Demi ayah dan ibuku, yang menjadi tebusanmu, tak usahlah anda mengamatiku nanti terkena panahan musuh. Biarlah mengenai leherku asalkan lehermu selamat.“
Abu Dujanah melindungi Nabi saw dengan dirinya, sementara panah-panah musuh bertubi-tubi menghujam di punggungnya. Demikian pula Ziyad bin Sakan. Ia memerangi Rasulullah saw dengan dirinya sampai gugur bersama lima orang sahabatnya. Menurut riwayat Ibnu Hisyam orang yang terakhir gugur melindungi Nabi saw hingga roboh karena luka yang mengenainya, lalu Rasulullah saw berkata:
“Dekatkanlah dia kepadaku.“ Kemudian diletakkan kepalanya di atas kaki beliau dan akhirnyaia menghembuskan nafasnya yang terakhir berbantalkan kaki Rasulullah saw.
Selang sekian lama pertempuran di antara kedua belah pihak pun mulai mereda, dan berakhir. Kaum Musyrikin mulai meninggalkan medan pertempuran dengan rasa bangga atas kemenangan yang diraihnya. Sementara itu kaum Muslimin terkejut melihat para sahabat yang berguguran di antaranya Hamzah bin Abdul Muttalib, Al Yaman, Anas bin Nadhar, Mush‘ab bin Umair dan lainnya. Rasulullah saw sendiri sangat berduka cita atas kematian pamannya, Hamzah bin Abdul Muttalib, apalagi setelah melihat mayatnya yang dibedah perutnya dan diiris hidung serta telinganya oleh musuh. Selanjutnya Rasulullah saw menguburkan mayat-mayat itu dua-dua dalam satu kain lalu bertanya: “Siapakah yang paling banyak hafal al-Quran?“ Setelah diberitahukan lalu Rasulullah saw memasukkannya lebih dahulu ke liang lahat. Sesudah itu Rasulullah saw besabda: “Aku menjadi saksi bagi mereka pada Hari Kiamat.“ Rasulullah saw memerintahkan agar mereka dikuburkan berikut pakaian dan darah mereka apa adanya, dengan tidak perlu dimandikan dan dishalatkan.
Orang-orang Yahudi dan Munafiq mulai menunjukkan kebencian mereka kepada kaum Muslimin. Abdullah bin Ubay bin Salul bersama kawan-kawannya berkata kepada kaum Muslimin: “Seandainya kalian mengikuti kami niscaya tidak ada korban yang berjatuhan di antara kalian.“ Kemudian mereka memperolok kaum Muslimin dengan mempertanyakan kemenangan yang pernah mereka impikan bersama Rasulullah saw. Lalu Allah swt menurunkan sejumlah ayat dari surat Ali-Imran sebagai komentar dan jawaban terhadap celotehan orang-orang Yahudi dan Munafiqin tersebut, di samping merupakan penjelasan tentang hikmah dari peristiwa yang terjadi di Uhud. Ayat-ayat itu ialah :

"Dan (ingatlah) ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu dalam rangka menempatkan para Mukmin pada beberapa posisi untuk berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ QS Ali-Imran : 121.

"Orang-orang yang tidak turut berperang itu berkata kepada saudara-saudaranya: “Sekiranya mereka mengikuti kita tentulah mereka tidak terbunuh.“ Katakanlah: “Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.“ QS Ali-Imran : 168.

Pada Sabtu sore Rasulullah saw meninggalkan Uhud dan pada malam harinya bermalam di Madinah bersama pada sahabatnya. Pada malam itu kaum Muslimin mengobati luka-luka mereka. Setelah melaksanakan shalat Shubuh pada hari Ahad, Rasulullah saw memerintahkan Bilal untuk mengumumkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kepada para sahabatnya agar keluar mengejar musuh. Perintah ini hanya ditujukan kepada para sahabat yang ikut dalam peperangan kemarin. Kemudian Rasulullah saw meminta diambilkan panjinya yang belum dilepas lalu menyerahkan kepada Ali bin Thalib ra. Dengan kondisi yang masih belum pulih dan serba lemah, para sahabat itu melesat keluar mengejar musuh sampai ke Hamra‘ul Asad (sebuah tempat yang terletak sepuluh mil dari Madinah). Di sinilah kaum Muslimin menyalahkan api unggun berukuran besar sehingga dapat dilihat dari tempat yang jauh di samping mengesankan banyaknya jumlah mereka.
Di saat itulah Ma‘bad bin Ma‘bad al-khuza‘I (seorang musyrik dari suku Khuza‘ah) lewat dan melihat kaum Muslimin. Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya dan bertemu dengan kaum Musyrikin yang sedang berpesta pora membanggakan kemenangan mereka di Uhud, dan merencanakan kembali lagi ke Madinah untuk menumpas kaum Muslimin tetapi dicegah oleh Shafwan bin Umaiyah. Ketika Abu Sofyan melihat Ma‘bad ia bertanya: “Wahai Ma‘bad ada gerangan apa di sana ? Ma‘bad menjawab:“ Celaka ! Sesungguhnya Muhammad bersama pada sahabatnya dalam jumlah besar yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, telah keluar mengejar kalian. Dengan semangat berkobar-kobar dan kebencian yang belum pernah aku lihat sebelumnya, mereka ingin berhadapan dengan kalian.“ Dengan itulah Allah swt , menimbulkan rasa takut di hati kaum Musyrikin sehingga mereka segera mengangkat kaki berangkat menuju Mekkah. Rasulullah saw tinggal di Hamra‘ul Asad pada hari Senin dan Selasa. Rabu kembali ke Madinah.

2.4  Beberapa Ibrah
Perang Uhud ini memberi banyak pelajaran penting kepada kaum Muslimin pada setiap masa. Semua peristiwa yang telah kami jelaskan terdahulu seolah-olah menjadi pelajaran yang bersifat aplikatif dan operasional, yang mengajarkan kepada kaum Muslimin cara mencapai kemenangan dalma pertempuran melawan musuh , dan cara menghindari kegagalan dan kekalahan. :
1.      Di dalam peperangan ini tampak pula prinsip yang selalu dipegang teguh oleh Rasulullah saw, yaitu bermusyawarah besama para sahabatnya dalam setiap urusan yang memerlukan syura dan pembahasan. Tetapi di sini kita mencatat satu hal yang tidak kita dapati pada musyawarah menjelang Badr. Yaitu bahwa Nabi saw tidak mau mencabut kembali persetujuannya atas pengusulan para sahabat yang menghendaki agar peperangan di tandingkan di luar Madinah, setelah beliau memakai baju perang dan mengambil persiapan perangnya, sekalipun mereka menyatakan penyesalan mereka dan menarik kembali usulan mereka itu, serta mengharap Rasulullah saw agar tinggal saja di Madinah jika beliau berpendapat demikian. Tampaknya pada waktu musyawarah Nabi saw cenderung atau menampakkan kecenderungan terhadap usulan yang menginginkan agar kaum Muslimin menunggu musuh di Madinah.
Barangkali hikmah yang terkandung dalam masalah ini, antara lain bahwa memperbincangkan kembali suatu masalah yang sudah diputuskan apalagi setelah Nabi saw muncul di tengah kaum dan para sahabatnya seraya memakai baju perang dan mengangkat senjatanya adalah suatu tindakan di luar prinsip syura khususnya menyangkut masalah-masalah peperangan yang memerlukan di samping musyawarah ketegasan dan kepastian sikap. Di samping itu kesan yang akan timbul jika Nabi saw mencabut persetujuannya setelah semuanya melihat Nabi saw telah bersiap-siap untuk perang, seakan Nabi saw tidak memiliki kehendak dan tekat yang kuat dan pasti. Bahkan biasanya sikap ragu seperti itu muncul karena rasa takut dan kekhawatiran yang tidak berasalan. Oleh sebab itu, Nabi saw menjawab mereka dengan tegas dan pasti :
"Tidak pantas bagi seorang Nabi apabila telah memakai baju perangnya untuk meletakkannya kembali sebelum berperang.“

2.    Dalam peperangan ini kaum Munafiqin menunjukkan sikap mereka yang asli. Sikap mereka ini mengandung banyak hikmah dan tujuan, di antara yang terpenting ialah wujud penyapubersihan unsur-unsur Munafiqin dari kaum Mukminin. Selain itu, sikap kaum Munafiqin tersebut memberikan berbagai manfaat bagi kaum Muslimin untuk menghadapi masa-masa mendatang.Telah kita ketahui bagaimana Abdullah bin Ubay bersama tiga ratus pengikutnya berkhianat kepada Rasulullah saw, dan para sahabatnya setelah keluar dari kota Madinah. Konon pengkhianatan ini disebabkan karena Nabi saw, mengikuti pendapat anak-anak muda dan tidak mengambil pendapat orang-orang tua dan para intelektual seperti dirinya (Abdullah bin Ubay). Tetapi sesungguhnya tidaklah demikian halnya. Ia (Abdullah bin Ubay) melakukan tindakan pengkhianatan itu hanya karena tidak mau berperang. Sebab ia tidak siap menghadapi segala resikonya. Itulah ciri khas utama kaum Munafiqin: ingin mengambil keuntungan-keuntungan yang terdapat dalam Islam dan menjauhi segala tanggung jawab dan resikonya. Sesuatu yang mengikat mereka dengan Islam ialah salah satu di antara dua hal : Harta rampasan yang mereka idamkan atau bencana yang dapat mereka elakkan.

3.      Dalam peperangan ini Rasulullah saw tidak mau meminta bantuan kepada orang-orang non-Muslim kendatipun jumlah kaum Muslimin masih sangat sedikit. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa‘d di dalam Thabaqat-nya, Rasulullah saw bersabda :
"Kami tidak akan pernah meminta bantuan kepada orang-orang Musyrik untuk menghadapi orang-orang Musyrik lainnya.“
Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw pernah berkata kepada seorang laki-laki yang ingin berperang bersamanya di peperangan Badr :
"Apakah kamu beriman kepada Allah swt?“ Orang itu menjawab: “Tidak“, Nabi saw bersabda: “Kembalilah, karena aku tidak akan meminta bantuan kepada seorang Musyrik.“
Berdasarkan kepada hal di atas jumhur ulama‘ berpendapat, tidak boleh meminta bantuan orang-orang kafir dalam berperang. Imam Syafi‘I menjelaskan hal ini dengan mengatakan: “Jika Imam melihat orang kafir tersebut memiliki pandangan yang baik dan jujur kepada kaum Muslimin serta sangat diperlukan bantuannya, (maka boleh meminta bantuannya), tetapi jika tidak demikian maka tidak boleh.“

Barangkali pendapat Imam Syafi‘I yang sesuai dengan beberapa kaidah dan dalil. Diriwayatkan bahwa Nabi saw menerima bantuan Sofwan bin Umaiyah pada perang Hunain. Dan masalah ini termasuk ke dalam kerangka apa yang disebut syari'ah (kebijaksanaan Imam). Kami akan menyebutkan perbedaan antara apa yang dilakukan Rasulullah saw di Hunain serta apa yang dilakukan Rasulullah saw di Badr dan Uhud pada pembahasan mendatang insya Allah.

2.5. Tragedi Ar-Raji‘ Dan Bi‘ru Ma‘unah

Pertama : Tragedi Ar-Raji‘ pada tahun ketiga
Beberapa utusan dari Kabilah Udlal dan Qarah datang kepada Rasulullah saw menyebutkan bahwa berita tentang Islam telah sampai kepada mereka. Oleh sebab itu, mereka sangat membutuhkan orang-orang yang akan mengajarkan kepada mereka agama. Kemudian Rasulullah saw mengutus beberapa orang dari sahabatnya. Antara lain: Murtsid bin Abi Murtsid, Khalid bin Al-Bakir, Ashim bin Tsabit, Khubaib bin Ady, Zaid bin Datsinah dan Abdullah bin Thariq. Rasulullah saw menunjuk Ashim bin Tasbit sebagai Amir mereka.
Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Maka berangkatlah mereka sehingga ketika sampai di daerah antara Usfan dan Mekkah, disebutkan tentang suatu perkampungan dari suku Hudzail yang dikenal dengan nama Banu Lihyan. Kemudian sekitar seratus orang pemanah dari suku ini mengikuti mereka, sampai mereka turun di suatu rumah. Di rumah ini mereka melihat biji-biji kurma Madinah yang dibuang di situ, sehingga mereka berkata: “Ini ada Kurma Yatsrib“. Orang-orang dari suku Hudzail itu terus membuntuti dan mengejar mereka. Ketika Ashim dan para sahabatnya mengetahui hal itu, mereka lalu berlindung ke sebuah bukit kecil di padang pasir. Gerombolan itu terus mengejar dan mengepung mereka, kemudian berkata: “ Kami berjanji tidak akan membunuh seorang di antara kalian jika kalian turun kepada kami.“ Ashim berkata: “Saya tidak akan menerima perlindungan orang kafir. Ya Allah, sampaikanlah berita kami kepada Nabi-Mu.“ Akhirnya gerombolan itu menyerang mereka sehingga berhasil membunuh Ashim bersama tujuh orang sahabatnya, dengan anak panah. Tinggal Khubaib, Zaid dan seorang lagi yang menerima tawaran tersebut.
Tetapi setelah turun kepada gerombolan itu, mereka ditangkap dan diikat. Orang yang bersama Ashim dan Zaid itu berkata: “Ini adalah pengkhianatan pertama“, Ia enggan mengikuti mereka lalu dibunuh oleh gerombolan itu.
Kemudian mereka membawa Khubaib dan Zaid sampai akhirnya mereka menjual keduanya di Mekkah. Khubaib dibeli oleh Banu Al-Harits. Adalah Khubaib orang yang membunuh al-Harits para perang Badr. Kemudian Khubaib tinggal di Banu al-Harits sebagai tawanan, sampai ketika mereka sepakat untuk membunuhnya. Pada hari itu Khubaib terlihat membawa pisau cukur yang dipinjamnya dari salah seorang anak wanita al-Harits. Wanit itu berkata: “Saya lupa kepada anakku sehingga dia merangkak mendatangai Khubaib, kemudian Khubaib mendudukannya di atas pahanya. Ketika aku melihatnya, aku takut dan terkejut. Melihat aku ketakutan dan sambil membawa pisau, Khubaib pun bertanya: “Apakah kamu takut aku akan membunuhnya ? Insya Allah, aku tidak akan melakukan perbuatan itu.“ Karena itulah wanita tersebut pernah berkomentar tentang Khubaib: “Aku tidak pernah melihat seorang tawanan yang lebih baik dari Khubaib. Aku pernah melihatnya makan buah anggur padahal waktu itu di Mekkah tidak lagi musim buah dan dia pun sedang diikat dengan rantai besi. Anggur itu tidak lain hanyalah rezki dari Allah swt.“
Kemudian Banu al-Harits menyeret Khubaib dari al-Haram untuk dieksekusi. Sebelum dieksekusi, Khubaib berkata: “Bolehkah aku melaksanakan shalat dua rakaat (terlebih dahulu)?“ Setelah melaksanakan shalat, Khubaib datang kepada mereka seraya berkata: “Kalau bukan karena khawatir kalian akan menyangka bahwa aku melakukan itu karena takut mati niscaya aku akan menambah shalat.“ Dengan demikian, maka dia merupakan seorang yang pertama kali mensunnahkan shalat dua rakaat sebelum dibunuh. Selanjutnya Khubaib bersyair :

"Aku tidak perduli asalkan aku dibunuh dalam Islam
Atas belahan manapun karena Allah aku terbunuh,      
Jika itu sudah menjadi kehendak Allah.
Maka Dia akan memberkati bagian-bagian tubuh yang dipotong-potong."

Setelah itu Uqbah bin al-Harits maju membunuh Khubaib. Kemudian orang-orang Quraisy meminta agar salah satu dari bagian tubuh Ashim yang masih bisa dikenali, dikirimkan kepada mereka. Karena Ashim pernah membunuh salah seorang tokoh mereka pada perang Badr. Tetapi Allah swt menggagalkan niat buruk mereka dengan menutupi jasadnya.
Ath-Thabary menambahkan sebuah riwayat dari Abi Kuraib, ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Ja‘far b in Aun dari Ibrahim bin Ismail ia berkata, telah menceritakan kepadaku Ja‘far bin Amir bin Umaiyyah dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw mengutusnya sendirian sebagai mata-mata kepada kaum Quraisy. Ia berkata: “Kemudian aku datang ke sebuah kayu tempat Khubaib dieksekusi, dengan sangat hati-hati. Lalu aku naik kepadanya kemudian aku lepaskan ikatannya dan Khubaib pun lenyap seolah-olah ditelan oleh bumi. Sampai hari ini tidak diketahui tulang-tulang Khubaib itu.
Ibnu Ishaq berkata: “Adapun Zaid, dia dibeli oleh Shafwan bin Umaiyah. Ketika mereka membawanya keluar dari al-Haram untuk dibunuh, Abu Shafwan bertanya kepadaku: “Aku bersumpah padamu hai Zaid. Apakah kamu suka seandainya Muhammad sekarang ini kami hukum sebagai penggantimu dan kami kami kembalikan kepada keluargamu?“ Jawab Zaid dengan tegas :
"Demi Allah, aku tidak rela jika Muhammad sekarang ini terkena duri sedikitpun sedangkan aku duduk bersama keluargaku.“

Mendengar jawaban ini Abu Shufyan berkomentar :
"Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih dicintai oleh sahabatnya seperti kecintaan sahabat Muhammad terhadap Muhammad.“

Kedua : Tragedi Bi‘ru Ma‘unah pada tahun keempat

Amir bin Malik yang dikenal dengan Mula‘ibul Asnah datang kepada Nabi saw. Kemudian Nabi saw menawarkan Islam kepadanya, tetapi dia tidak menerima juga tidak menolak Islam. Dia hanya berkata kepada Nabi saw: “Hai Muhammad, utuslah beberapa orang sahabatmu ke Najd untuk berdakwah di sana. Saya yakin mereka akan menyambut agamamu!“ Nabi saw menjawab: “Aku khawatir penduduk Najd akan menyerang mereka.“ Kata Amir: “Utuslah saja, aku yang akan melindungi dan menjamin mereka. Biarlah mereka mengajak kepada agamamu.“
Kemudian Nabi saw mengutus 70 sahabat pilihannya. Pengiriman para da'i ini menurut riwayat Ibnu Ishaq dan Ibnu Katsir, dilakukan empat bulan setelah perang Uhud. Maka berangkatlah mereka hingga sampai di Bi‘ru Ma‘unah (nama sebuah desa). Ketika sampai di tempat ini, diutuslah Haram bin Milham salah seorang dari delegasi da'i tersebut untuk menyampaikan surat Nabi saw kepada Amir bin Thufail. Belum sampai surat itu dibacanya, Amir bin Thufail langsung membunuh Haram bin Milhan. Menurut riwayat Bukhari dari Anas bin Malik bahwa ketika Haram bin Milhan ditikam dan darahnya muncrat di wajahnya, ia berteriak :"Aku telah sukses demi Rabb Ka‘bah“.

Kemudian Amir bin Thufail menggerakkan Bani Amir untuk menyerang pada da'i yang lainnya, tetapi Bani Amir menolaknya dan berkata: “Kami tidak akan mengkhianati Abu Barra‘ (Amir bin Malik)“. Lalu Amir bin Thufail meminta bantuan kepada kabilah-kabilah Sulaim dari suku Ushaiyyah, Ra‘I dan Dzakwan. Kabilah-kabilah ini menyambut ajakan Amir bin Thufail lalu mengepung dan menyerang mereka. Para da'i itu berusaha melakukan perlawanan tetapi tidak berdaya sampai semuanya gugur terbunuh.
Di antara para da'i itu terdapat dua orang sahabat yang tidak menyaksikan tindak pengkhianatan ini. Salah seorang di antaranya ialah Amir bin Umaiyyah Adh-Dhamri. Kedua sahabat ini tidak mengetahui berita terjadinya pengkhianatan tersebut sehingga keduanya datang membantu saudara-saudaranya. Tetapi sahabatnya itu pun terbunuh bersama yang lain, sementara dia (Amir bin Umaiyyah Adh-Dhamri) berhasil lolos dan kembali ke Madinah. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan dua orang Musyrik yang disangkanya dari Bani Amir. Lalu kedua orang itu dibunuhnya. Setelah sampai kepada Rasulullah saw dan diceritakan kasus tersebut, ternyata kedua orang itu dari Bani Kilab dan telah mendapatkan jaminan dari Nabi saw. Kemudian Nabi bersabda :“Engkau telah membunuh dua orang. Aku harus membayar diatnya.“
Rasulullah saw merasakan kesedihan yang mendalam atas kematian delegasi da'i yang semuanya itu adalah sahabat beliau, sehingga selama sebulan penuh Rasulullah saw melakukan qunut di shalat subuh mendoakan kecelakaan atas kabilah Ra‘I, Dzakwan, Bani Lihyan dan Ushaiyyah.

2.6. Beberapa Ibrah
1.      Pada kedua peristiwa yang menyedihkan ini terdapat beberapa pelajaran penting. Diantaranya :
Masing-masing dari tragedi Ar-Raji‘ dan Bi‘ru Ma‘unah menunjukkan keterlibatan dan partisipasi seluruh kaum Muslimin dalam tanggung jawab dakwah kepada Islam dan menjelaskan hakekat serta hukum-hukum Islam kepada manusia. Tanggung jawab dakwah bukan hanya tugas para Nabi dan Rasul atau para Khalifah dan ulama saja. Tetapi merupakan tanggung jawab setiap individu Muslim.
Anda akan merasakan betapa pentingnya melaksanakan kewajiban dakwah, setelah anda mengetahui bagaimana Rasulullah saw mengutus 70 orang sahabat pilihannya yang padahal tidak lama setelah enam orang sahabatnya terbunuh dalam missi yang sama yaitu berdakwah menyebarkan Islam. Rasulullah saw sendiri telah mengkhawatirkan terjadinya tragedi tersebut, bahkan hal ini pernah disampaikan kepda Amir bin Malik ketika beliau mengusulkan pengiriman utusan untuk mengajak manusia kepada Islam. Tetapi Amir bin Malik waktu itu juga melihat bahwa pelaksanaan kewajiban dakwah (tabligh) lebih penting daripada segala sesuatu jika tanggung jawab mengemban amanat dakwah tidak akan bisa dilaksanakan kecuali harus dengan menempuh petualangan dengan resiko seperti itu maka biarlah semua itu terjadi. Biarlah terjadi apa yang dikehendaki oleh Allah swt dengan kewajiban melaksanakan dakwah tersebut.
2.      Pada bagian pertama dari kitab ini telah kami sebutkan bahwa seorang Muslim tidak boleh tinggal di Darul Kufri atau Darul Harbi, jika tidak dapat memperlihatkan eksistensi dan misi agamanya. Tetapi kasus dalam sirah Nabi saw ini menunjukkan pengecualian hukum tersebut, yaitu apabila menetapkan seorang Muslim di Darul Harbi atau Darul Kufri itu karena melaksanakan tugas kewajiban dakwah Islam. Sebab, hal ini termasuk salah satu bentuk jihad yang tanggung jawabnya berkaitan dengan seluruh kaum Muslimin, atas dasar fardhlu kifayah yang jika telah ada sebagian orang yang melaksanakannya secara sempurna maka tanggung jawab itu gugur dari orang lain, tetapi jika belum terlaksanakan secara sempurna maka seluruh kaum Muslimin akan menanggung dosanya.

3.      Kedua tragedi ini secara jelas menunjukkan betapa kebencian dan dendam kesumat yang membara di hati kaum Musyrikin terhadap kaum Muslimin, sampai mereka tega melakukan pengkhianatan yang terburuk demi untuk memuaskan dahaga kebencian mereka kepada kaum Muslimin. Sebaliknya, kedua tragedi ini menunjukkan betapa indah dan mengagumkan gambaran watak dan tabiat kaum Muslimin yang menjadi korban pengkhianatan mereka. Anda sendiri telah melihat bagaimana Khubaib disekap sebagai tawanan di rumah Bani Al-Harits, menanti pelaksanaan eksekusinya. Pada hari pelaksanaan eksekusi, Khubaib meminjam pisau cukur untuk mencukur demi mempersiapkan diri menghadapi kematian. Saat itu tiba-tiba seorang anak balita dari seorang wanita lepas dan mendatangi Khubaib. Pada saat-saat ini, bagi orang berpikir ingin membalas dendam dan selamat dari kematian, merupakan kesempatan yang baik untuk melakukan penyanderaan sebagai media tawar-menawar atau membayar pengkhianatan dengan pengkhianatan yang sama.
Dan memang demikianlah perkiraan semua penghuni rumah itu, sehingga ketika ibu dari bayi itu melihat bayinya berada di pangkuan Khubaib, ia terkejut ketakutan. Tetapi ibu itu tercengang ketika melihat Khubaib mendudukan anaknya di pangkuan seraya memanjakannya seperti seorang ayah! Ketika Khubaib melihat wanita itu penuh ketakutan dan kecemasan, maka dengan tenang dan rasa kasih sayang sebagai seorang Mukmin Khubaib berkata :
"Apakah engkau takut akan akan membunuhnya? Insya Allah aku tidak akan melakukannya.“

Perhatianlah mukjizat tarbiyah Islamiyah kepada manusia! perhatikanlah perbedaan antara Khubai dan orang-orang Musyrik yang telah membunuhnya secara kejam dan aniaya. Sama-sama orang Arab yang tumbuh dalam satu lingkungan dan tradisi yang serupa. Tetapi Khubaib telah memeluk Islam sehingga Islam telah membentuknya menjadi manusia yang berbeda sama sekali dengan mereka yang tetap bertahan dalam kesesatan dan tabiat mereka yang buruk. Betapa besar perubahan yang telah dilakukan oleh Islam pada tabiat manusia!
BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Peristiwa-peristiwa yang diuraikan diatas adalah peristiwa- peristiwa yang pernah dialami oleh Rasulullah SAW pada masa dakwahnya yang mungki adalah sebagai suatu pelajaran dari Allah SWT, yaitu beberapa tantangan dakwah berupa :
1.      Pengkhianatan dari kaum yahudi munafik yang dimulai dari perbuatan keji bani Qunaiqa’ melecehkan salah seorang muslimah dan membunuh orang yang membelanya sehingga Rasulullah geram dan akhirnya mengusir bani Quniqa’ dari madinah, karena perbuatan yang mereka lakukan telah melanggar perjanjian yang mereka buat untuk tidak mendzolimi saudaranya. Setelah diusir orang-orang yahudi munafik itu tinggal disebuah pedusunan bernama Adzra’at di dearah syam, belum lama tinggal disana sebagian besar dari mereka mati ditimpa bencana.
2.      Kekalahan pada perang uhud yang menyebabkan banyak sahabat Rasulullah SAW  syahid  termasuk paman beliau, bahkan Rasulullah SAW pun banyak mendapatkan luka pada perang tersebut. Beberapa penyebab kekalahan adalah ketidak disiplinan beberapa  pasukan muslim terhadap perintah Rasulullah SAW untuk tetap bertahan di bukit jika pasukan muslim menang ataupun kalah. Ditambah dengan pengkhianatan Abdullah Bin Ubay yang membawa mundur 300 pasukan pendukungnya ditengah jalan menuju medan peperangan dengan alasan tidak menerima hasil keputusan syuro.
3.      Tragedi ar-Raji’ dan Bi’ru Ma’unah yaitu pembantaian para da’i dan utusan-utusan Rasulullah SAW oleh musuh-musuh islam dengan cara yang keji, sadis dan beringas. Akibat peristiwa ini Rasulullah SAW merasakan kesedihan yang mendalam atas keamatian delegasi da’i yang semuanya itu adalah sahabat beliau sehingga selama sebulan penuh Rasulullah SAW melakukan qunut di shalat subuh mendoakan kecelakaan atas kabilah Ra’i, Dzakwan, bani Lihyan, dan Ushaiyyah.
4.      Beberapa ibrah dari setiap peristiwa yang kami paparkan tadi mudah-mudahan dapat menjadi pelajaran berharga bagi kaum muslimin seluruhnya.
3.2 Saran
Perlu kiranya masyarakat, para da’i dan mahasiswa muslim mengetahui dan memahami sirah dengan sempurna, saran kami kepada para pejuang dakwah untuk  terus memperhatikan pemaham sirah kepad masyarakat dalam kegiatan dakwahnya dan tetap meneruskan dakwahnya dengan segala rintangan dan tantangannya, sebagaimana kita yakini bahwa dakwah tak selamanya lurus, indah dan nyaman melainkan berkelok, menanjak dan banyak rintangan lainya, tetapi jalan inilah jalan terdekat menuju jannah-Nya.Allahu Akbar.

3.2 Penutup
Dengan segala keterbatasan ilmu dan sumber-sumber yang kami pelajari, kami dari tim penyusun mengakui banyaknya kekurangan dan ketidak sempurnaan kami dalam penyusunan makalah ini. Karenanya, kami mohon maaf dengan kerendahan hati senantiasa kami harapkan kritik dan saran dari para rekan mahasiswa, dosen dan para asatidz  guna menunjang perkembangan pembuatan makalah kami ke depan, selanjutnya semua kami serahkan kepada Allah SWT selaku pemilik ilmu ini dan Dia-lah dzat yang Maha Benar lagi Maha Sempurna.
Semoga tugas makalah ini dicatat sebagai amal baik kami oleh Allah Swt. Sebagai amal shalih dan bermanfaat. Amin.

 DAFTAR PUSTAKA
1.      Al Buthy, Muhammad said, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press, 1999.
  1. http://daffodilmuslimah.multiply.com/tag/sirah%20nabawiyah?&tag=sirah%20nabawiyah&item_id=134&page_start=20
  2. http://sampaikanwalau1ayat.blogspot.com/2011/04/perang-uhud-1.html







Tidak ada komentar:

Posting Komentar