Selasa, 10 Januari 2012

MAKALAH KEMUKJIZATAN QUR'AN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN
Alam yang luas dan dipenuhi makhluk-makhluk Allah ini; gunung-gunungnya yang menjulang tinggi, samuderanya yang melimpah, dan daratannya yang menghampar luas, (menjadi kecil) di hadapan makhluk yang lemah seperti manusia. Yang demikian disebabkan Allah telah menganugerahkan kepadanya berbagai keistimewaan, dan memberinya kekuatan berpikir yang mampu menembus segala sisi untuk menundukkan unsur-unsur kekuatan alam tersebut dan menjadikannya sebagai pelayan bagi kepentingan kemanusiaan.
Allah sama sekali tidak akan menelantarkan manusia, tanpa memberikan kepadanya sebersit wahyu, dari waktu ke waktu, yang akan membimbingnya ke jalan petunjuk sehingga mereka dapat menempuh kehidupan ini atas dasar keterangan dan pengetahuan. Namun watak manusia yang sombong dan angkuh terkadang menolak untuk tunduk kepada manusia lain yang serupa dengannya selama manusia lain itu tidak membawa kepadanya sesuatu yang berada di luar batas kemampuannya hingga ia mengakui, tunduk dan percaya akan kemampuan manusia lain. Sudah menjadi kelaziman dari munculnya seorang rasul dengan seruan agama baru untuk disertai dengan mukjizat. Dengan mu’jizat itu seorang rasul baru diberdayakan oleh Allah untuk sanggup membalikkan pandangan umatnya yang sedang mengalami fase keterkaguman dengan salah satu aspek kehidupan keduniaan, menuju jalan agama Allah yang lurus. Sejarah nabi dan rasul menunjukkan kebhinekaan corak mu’jizat yang tidak lain sebagai respon logis dari tuntutan realitas kehidupan umat.
Oleh karena itu rasul-rasul Allah di samping diberi wahyu, juga mereka dibekali kekuatan dengan hal-hal luar biasa yang dapat menegakkan suatu argumentasi yang lebih unggul dari milik manusia biasa, sehingga manusia itu mengakui kelemahannya di hadapan hal-hal luar biasa tersebut, kemudian tunduk dan taat kepadanya. Namun akal manusia pada fase awal perkembangannya masih lemah sehingga tidak mampu melihat sesuatu yang dapat menarik hati selain mukjizat-mukjizat alamiah yang hissi (inderawi). Itu disebabkan akal manusia yang belum mencapai puncak ketinggian dalam bidang pengetahuan dan pemikiran, maka yang paling relevan ialah jika setiap rasul itu hanya diutus kepada kaumnya secara khusus dan mukjizatnya pun hanya berupa sesuatu hal luar biasa yang sejenis dengan apa yang mereka kenal selama itu. Ketidakberdayaan mereka di hadapan mukjizat alamiah itu, segera mengantarkan mereka percaya bahwa hal luar biasa itu datang dari “kekuatan langit.”
Ketika perkembangan akal manusia itu telah mencapai taraf sempurna maka Allah mendatangkan risalah Muhammad yang abadi kepada seluruh umat manusia. Sasaran mukjizatnya adalah akal manusia yang telah berada dalam tingkat kematangan dan perkembangannya yang paling tinggi.
Bila dukungan Allah kepada rasul-rasul terdahulu berbentuk ayat-ayat kauniyah yang memukau mata, dan tidak ada jalan bagi akal untuk menentangnya, seperti mukjizat tangan dan tongkat bagi Nabi Musa, dan penyembuhan orang buta dan orang sakit serta menghidupkan orang mati dengan izin Allah bagi Nabi Isa, maka mukjizat Nabi Muhammad, berbentuk mukjizat aqliyah, mukjizat bersifat rasional, yang senantiasa menentang akal manusia. Mukjizat tersebut adalah Al-Qur’an dengan segala ilmu dan pengetahuannya yang dikandungnya serta segala beritanya tentang masa lalu dan masa akan datang. Akal manusia betapa pun majunya, tidak akan sanggup menandingi Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah ayat kauniyah yang tiada bandingnya. Kelemahan akal yang bersifat kekurangan substantif ini merupakan pengakuan akal itu sendiri bahwa Al Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan sangat diperlukan untuk dijadikan pedoman dan pembimbing. Itulah makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah dengan sabdanya :
“Tiada seorang nabi pun kecuali diberi mukjizat yang dapat membuat manusia beriman kepadanya. Namun apa yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang datangnya dari Allah. Karena itu aku berharap semoga kiranya aku menjadi Nabi paling banyak pengikutnya.”
Demikianlah, Allah telah menentukan keabadian mukjizat Islam sehingga kemampuan manusia menjadi tak berdaya menandinginya, walaupun waktu yang tersedia cukup panjang dan ilmu pengetahuan pun telah maju pesat.
Fenomena Al-Quran sebagai mu’jizat, berikut segala segi dan fungsinya, akan banyak ditelaah dalam tulisan ini. Pembahasan Al-Quran sebagai mu’jizat oleh para ulama masih menyisahkan perbedaan pendapat tentang derivasi serta domain kemu’jizatan Al-Quran ditambah lagi munculnya pendapat yang cenderung melimitasi pada segi kemu’jizatan dengan menafikan segi yang lain. Berangkat dari sini, penyusun bermaksud untuk mengkaji beberapa segi kemukjizatan Al-Quran yang diharapkan dapat menampilkan keterwakilan seluruh pergolakan pendapat dan pemikiran yang bergulir disekitar obyek telaah kemu’jizatan Al-Quran.
Perbincangan tentang kemukjizatan Al Qur’an, merupakan satu macam mukjizat tersendiri, dimana para penyelidik tidak bisa mencapai rahasia satu sisi daripadanya sampai ia mendapatkan di balik sisi itu, ada sisi-sisi lain yang rahasia kemukjizatannya hanya dapat terungkap oleh zaman. Demikianlah, sebagaimana dikatakan oleh Ar-Rafi’i, “Betapa serupa bentuk pembicaraan tentang Al Qur’an, dalam hal susunan kemukjizatannya  dan kemukjizatan susunannya dari sistem alam, yang dipenuhi oleh para saintis dari berbagai disiplin ilmu, yang menjadikan segala sisi yang ada itu sebagai obyek kajian dan penyelidikan. Namun bagi mereka senantiasa menjadi makhluk baru yang asing dan tempat tujuan yang masih jauh.”

1.2  RUMUSAN MASALAH
       1. Sebutkan pengertian Mukjizat secara bahasa dan secara istilah !
2. Sebutkan tiga tahapan yang Rasulullah minta kepada orang Arab untuk menandingi Al-Qur’an !
3. Tahapan tersebut, terdapat dalam Al-Qur’an surat ?

1.3 TUJUAN
       1. Bermaksud untuk mengkaji beberapa segi kemukjizatan Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Mukjizat dan Pengukuhannya
2.1.1 Pengertian i’jaz menurut bahasa :
Untuk mendapatkan makna i’jaz al-Quran, yang merupakan kata majemuk yang dalam bahasa Arab dinamakan tarkib idhofi, terlebih dahulu kita harus memahami makna i’jaz secara etimologi. I’jaz adalah isim mashdar dari ‘ajaza-yu’jizu-i’jazan yang mempunyai arti “ketidakberdayaan atau keluputan” (naqid al-hazm). Dikatakan : a’jazani al-amru, artinya: “perkara itu luput dariku”. Makna leksikal kedua adalaha “membuat tidak mampi”, seperti dalam contoh a’jaza akhoohu “dia telah membuat saudaranya tidak mampi” manakala dia telah menetapkan ketidakmampuan saudaranya itu dalam suatu hal. Kata i’jaz juga berarti “terwujudnya ketidakmampuan”, seperti dalam contoh: a’jaztu zaidan “aku mendapati Zaid tidak mampu”.[1]

2.1.2 Pengertian i’jaz secara istilah :
Penampakan kebenaran pengklaiman kerasulan Nabi Muhammad SAW dalam ketidakmampuan orang Arab untuk menandingi mukjizat nabi yang abadi, yaitu al-Quran.[2] Perbuatan seseorang pengklaim bahwa ia menjalankan fungsi ilahiyah dengan cara melanggar ketentuan hukum alam dan membuat orang lain tidak mampu melakukannya dan bersaksi akan kebenaran klaimnya.[3]
I’jaz (kemukjizatan) adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari qudrah (potensi, power, kemampuan). Apabila kemukjizatan muncul, maka nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang melemahkan). Yang dimaksud dengan i’jaz dalam pembahasan ini ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul, dengan menampakkan kelemahan orrang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu Al Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka. Dan mu’jizat (mukjizat) adalah sesuatu hal yang luar biasa yang disertai tantangan dan selamat dari perlawanan. Mukjizat merupakan sebuah fenomena adikodrati disertai dengan tantangan yang taktertandingi.[4]
Sebuah perkara luar biasa (khoriqun lil ‘adah) yang muncul pada diri seorang yang mengaku nabi dalam sebuah kapasitas tertentu yang tidak bisa dilakukan oleh siapapun yang mengingkarinya.[5]
Al Qur’an Al Karim digunakan Nabi untuk menantang orang-orang Arab tetapi mereka tidak sanggup menghadapinya, padahal mereka sedemikian tinggi fasahah dan balagah-nya. Hal ini tiada lain karena Al Qur’an adalah mukjizat. Rasulullah telah meminta orang Arab menandingi Al Qur’an dalam tiga tahapan :
1.    Menantang mereka dengan seluruh Al Qur’an dalam uslub (metode) umum yang meliputi orang Arab sendiri dan orang lain, manusia dan jin, dengan tantangan yang mengalahkan kemampuan mereka secara padu melalui firman-Nya :
“Katakanlah : Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian yang lain.” (Al-Isra’ : 88)
2.    Menantang mereka dengan sepuluh surat saja dari Al Qur’an, dalam firman-Nya, “Ataukah mereka mengatakan : “(Jika demikian), maka datanglah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.” Jika mereka (yang kamu seru itu) tidak menerima seruanmu itu, ketahuilah, sesungguhnya Al Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah.” (Hud : 13-14).
3.    Menantang mereka dengan satu surat saja dari Al Qur’an, dalam firman-Nya,”Atau (patutkah) mereka mengatakan, Muhammad yang telah mengada-adakannya. Katakanlah,”(Kalau benar yan kamu katakan itu, maka datangkanlah sebuah surat sepertinya.”(Yunus : 38).

Tantangan ini diulang lagi dalam firman-Nya :
“Dan jika kamu (tetap) dalam keadaan ragu tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu...”(Al Baqarah : 23).
Orang yang mempunyai sedikit saja pengetahuan tentang sejarah bangsa Arab dan sastra bahasanya, tentu akan mengetahui faktor-faktor bagi diutusnya rasulullah yang meninggikan bahasa Arab, menghaluskan tutur katanya dan mengumpulkan ragam dialeknya yang paling baik dari pasar-pasar sastra dan perlombaan puisi dan prosa. Sehingga muara aliran fasahah dan peredaran kalam yang retorik berakhir pada bahasa Quraisy, dengan bahasa mana Al Qur’an diturunkan. Selain itu, bangsa Arab mempunyai kebanggaan diri yang mereka unggul-unggulkan atas bangsa-bangsa lain dengan congkak dan sombong, sehingga menjadi perumpamaan di dalam sejarah mencatat “kejayaan” mereka karena pertempuran dan peperangan hebat yang dinyalakan oleh api kesombongan dan kecongkakan.
            Bangsa seperti mereka, dengan terpenuhinya potensi kebahasaan dan kekuatan retorika yang dinyalakan oleh semangat kesukuan dan dikobarkan oleh tungku fanatisme, andaikata telah dapat menandingi Al Qur’an tentu hal demikian akan menjadi buah bibir dan beritanya akan tersiar di setiap generasi. Sebenarnya mereka telah dapat menelaah ayat-ayat Al Qur’an, membolak-baliknya dan mengujinya dengan metode yang mereka gunakan untuk menguntai puisi dan prosa, namun mereka tidak mendapatkan jalan untuk menirunya atau celah-celah untuk menghadapinya. Sebaliknya, yang meluncur dari mulut mereka adalah kebenaran yang membuat mereka bisu secara spontan ketika ayat-ayat Al Qur’an menggoncangkan hati mereka, seperti yang terjadi pada Al Walid bin Mughirah. Dan di saat sudah tidak sanggup lagi berdaya upaya, mereka melemparkan kepada Al Qur’an itu kata-kata yang membingungkan. Mereka mengatakan, “Al Qur’an adalah sihir yang dipelajari, karya penyair gila, atau dongengan bangsa purbakala.” Mereka tidak dapat menghindar lagi di hadapan kelemahan dan kesombongannya selain harus menyerahkan leher kepada pedang ; seakan-akan keputusasaan yang mematikan telah memindahkan para penderitanya dari pandangan mereka terhadap kehidupan panjang dan umur panjang ke saat kematian, sampai akhirnya mereka menyerah kepada kematian. Dengan demikian terbuktilah sudah kemukjizatan Al Qur’an tanpa diragukan lagi. 
            Adalah mendengarkan Al Qur’an juga merupakan bagian dari argumentasi kemukjizatannya yang pasti,
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” (At Taubah : 6).
Kandungan mu’jizat yang dimilikinya pun melampaui kandungan segala mukjizat kauniyah terdahulu, dan Al Qur’an tidak lagi membutuhkan semua itu,
 “Dan orang-orang kafir Mekkah berkata : ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya ayat-ayat (mukjizat-mukjizat) dari Tuhannya?’katakanlah sesungguhnya ayat-ayat itu (mukjizat-mukjizat) itu milik Allah. Dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata. Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) yang dibacakan kepada mereka?” (Al Ankabut : 50 - 51).
Kelemahan orang Arab untuk menandingi Al Qur’an padahal mereka memiliki potensi dalam masalah itu, merupakan bukti tersendiri bagi kelemahan bahasa Arab, walaupun bahasa ini berada pada kemajuannya.
            Kemukjizatan Al Qur’an bagi bangsa-bangsa lain tetap berlaku di sepanjang zaman dan akan selalu ada dalam posisi tantangan yang tegar. Misteri-misteri alam yang disingkap oleh ilmu pengetahuan modern hanyalah sebagian dari fenomena hakikat-hakikat tinggi yang terkandung dalam misteri alam wujud yang merupakan bukti bagi eksistensi Pencipta dan Perencananya. Dan inilah apa yang dikemukakan secara global atau diisyaratkan oleh Al Qur’an. Dengan demikian, Al Qur’an tetap merupakan mukjizat bagi seluruh umat manusia.

2.1.3 Macam-macam mukjizat
Secara umum mukjizat dapat digolongkan menjadi dua klasifikasi, yaitu:
Mu’jizat Indrawi (Hissiyyah)
Mukjizat jenis ini diderivasikan pada kekuatan yang muncul dari segi fisik yang mengisyaratkan adanya kesaktian seorang nabi. Secara umum dapat diambil contoh adalah mukjizat nabi Musa dapat membelah lautan, mukjizat nabi Daud dapat melunakkan besi serta mukjizat nabi-nabi dari bani Israil yang lain. Bahkan secara umum bila melihat komentar Imam Jalaludin as-Suyuthi, dimana beliau berpendapat bahwa kebanyakan maukjizat yang ditanpakkan Allah pada diri para nabi yang diutus kepada bani Israil adalah mukjizat jenis fisik. Beliau menambahkan hal itu dikarenakan atas lemah dan keterbelakangan tingkat intelegensi bani Israil.[6]
Mukjizat Rasional (‘aqliyah)
Mukjizat ini tentunya sesuai dengan namanya lebih banyak ditopang oleh kemampuan intelektual yang rasional. Dalam kasus al-Quran sebagai mukjizat nabi Muhammad atas umatnya dapat dilihat dari segi keajaiban ilmiah yang rasional dan oleh karena itulah mukjizat al-Quran ini bias abadi sampai hari Qiamat. Jalaludin as-Suyuthi kembali berkomentar, bahwa sebab yang melatarbelakangi diberikannya mukjizat rasional atas umat nabi Muhammad adalah keberadaan mereka yang sudah relative matang dibidang intelektual. Beliau menambahkan, oleh karena itu al-Quran adalam meukjizat rasional, maka sisi i’jaznya hanya bias diketahui dengan kemampuan intelektual, lain halnya dengan mukjizat fisik yang bias diketahui dengan instrument indrawi. Meskipun al-Quran diklasifikasian sebagai mukjizat rasional ini tidak serta merta menafikan mukjizat-mukjizat fisik yang telah dianugrahkan Allah kepadanya utnuk memperkuat dakwahnya.

2.2 Aspek-aspek Kemukjizatan Al Qur’an
Perkembangan ilmu kalam dalam sejarah Islam mempunyai pengaruh yang lebih tepat untuk dikatakan sebagai “kalam di dalam kalam (kalam fi kalam).” Pemikiran yang ada di dalam ilmu kalam ini, telah menyeret pengikutnya ke dalam kerancuan pembicaraan dan ketumpangtindihan. Bencana tokoh-tokoh ilmu kalam ini mulai tampak ketika membicarakan tentang pemikiran khalqu Al Qur’an (Al Qur’an sebagai makhluk). Kemudian pendapat dan pandangan mereka tentang kemukjizatan Al Qur’an pun berbeda-beda dan beragam.
1)   Abu Ishaq Ibrahim An Nazham dan pengikutnya dari kaum Syi’ah seperti Al-Murtadha berpendapat, bahwa kemukjizatan Al-Qur’an adalah dengan cara shirfah (pemalingan).
2)   Beberapa ulama berpendapat, Al-Qur’an itu mukjizat dengan balagahnya yang mencapai tingkat tinggi dan tidak ada bandingnya. Ini adalah pendapat ahli bahasa Arab yang gemar akan bentuk-bentuk makna yang hidup dalam untaian kata-kata yang terjalin kokoh dan retorika yang menarik.
3)   Sebagian lain berpendapat, segi kemukjizatan Al-Qur’an itu ialah karena ia mengandung ba’di yang sangat unik dan berbeda dengan apa yang telah dikenal dalam perkataan orang Arab, seperti fashilah dan maqtha’.
4)   Golongan lain berpendapat, kemukjizatan Al-Qur’an itu terletak pada pemberitaannya tentang hal-hal ghaib. Misalnya firman Allah dalam penduduk Badar :
“Golongan itu pasti dikalahkan dan mereka akan undur ke belakang.” (Al-Qamar : 45).
5)   Kelompok lain berpendapat, Al-Qur’an itu mukjizat karena ia mengandung bermacam-macam ilmu dan hikmah yang sangat dalam.

2.3 Lingkup kemukjizatan Al-Qur’an
1)   Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa kemukjizatan itu berkaitan dengan keseluruhan Al Qur’an, bukan dengan sebagiannya, atau dengan setiap suratnya secara lengkap.
2)   Sebagian ulama berpendapat, sedikit atau banyak dari Al-Qur’an itu, tanpa harus satu surat penuh, juga merupakan mukjizat : “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur’an...” (Ath-Thur : 34).
3)   Ulama yang lain berpendapat, kemukjizatan itu cukup hanya dengan satu surat lengkap sekalipun pendek, atau dengan ukuran satu surat, baik satu ayat atau beberapa ayat.
Al-Qur’an telah memberikan tantangan agar didatangkan sesuatu yang sama persis dengan Al-Qur’an ; dengan keseluruhannya seperti dalam surat Al-Isra’ : 88, dengan sepuluh surat, seperti termaktub dalam surat Hud : 13, atau dengan satu surat ; seperti dalam surat Yunus : 38, juga dengan satu ayat seperti dalam Ath-Thur : 34
Kita tidak berpendapat, kemukjizatan itu hanya terdapat pada kadar tertentu, sebab kita dapat menemukannya pula pada bunyi huruf-hurufnya dan alunan kata-katanya, sebagaimana kita mendapatkannya pada ayat-ayat dan surat-suratnya. Al-Qur’an adalah Kalamullah. Ini saja sudah cukup.
Adapun mengenai segi atau kadar manakah mukjizat itu, maka jika seorang penyelidik yang obyektif dan mencari kebenaran memperhatikan Al-Qur’an dari aspek manapun yang ia sukai, segi uslubnya, segi ilmu pengetahuannya, segi pengaruh yang ditimbulkannya di dalam dunia dan wajah sejarah yang diubahnya atau semua segi tersebut, tentu kemukjizatan itu ia dapatkan dengan jelas dan terang.

2.4 Kemukjizatan Dalam Aspek Bahasa
Para pakar Bahasa Arab telah menekuni ilmu bahasa ini sejak awal pertumbuhannya, kemudian mejadi remaja sehingga menjadi raksasa perkasa yang hebat. Mereka mengubah puisi dan prosa, kata-kata bijak dan matsal yang tunduk pada aturan bayan  yang diekspresikan dalam redaksi-redaksi yang memukau, dengan gaya bahasa hakiki dan metafor, serta padat dalam tuturnya. Mereka juga telah meramba jalan yang belum pernah diinjak orang lain dalam kesempurnaan menyampaikan penjelasan (al-bayan), keserasian dalam menyusun kata-kata, serta kelancaran logika.[7]
Oleh karena bangsa Arab telah mencapai taraf yang begitu jauh dalam bahasa dan seni sastra, karena sebab itulah Al-Quran menantang mereka. Padahal mereka memiliki kemampuan bahasa yang tidak bisa dicapai orang lain seperti kemahiran dalam berpuisi, syi’ir atau prosa (natsar), memberikan penjelasan dalam langgam sastra yang tidak sampai oleh selain mereka. Namun walaupun begitu mereka tetap dalam ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan Al-Quran.[8]
Al-Qur’an, dimana orang Arab lumpuh untuk menandinginya itu, sebenarnya tiak keluar dari aturan-aturan kalam mereka, baik lafazh, huruf maupun redaksinya. Tetapi Al-Qur’an memiliki jalinan huruf-huruf yang serasi, ungkapannya indah, redaksinya simpatik, ayat-ayatnya teratur, serta memperhatikan situasi dan kondisi dalam berbagai macam bayannya, baik dalam jumlah ismiyah dan fi’liyahnya, dalam nafi dan isbatnya, dalam dzikr dan hadzfnya dalam tankir dan ta’rifnya, dalam taqdim dan ta’khirnya, dalam ithnab dan ijaznya, dalam umum dan khususnya, dalam muthlaq dan muqayyadnya, dalam nash dan fahwa-nya, maupun dalam hal lainnya.
Selanjutnya apabila ketidakmampuan bangsa Arab telah terbukti sedangkan mereka jago dalam bidang bahasa dan sastra, maka terbukti pulalah kemukjizatan Al-Quran dalam segi bahasa dan sastra dan itu merupakan argumentasi terhadap mereka maupun terhadap kaum-kaum selain mereka. Sebab dipahami bahwa apabila sebuah pekerjaan tidak bisa dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidangnya tentunya semakin jauh lagi kemustahilan itu bisa dilakukan oleh mereka yang tidak ahli dibidangnya.[9]
Berkaitan dengan masalah pembuktian akan ketidak mampuan bangsa Arab untuk menyaingi Al-Quran para ulama banyak memberikan komentar yang mengisyaratkan adanya perbedaan tentang ihwal ketidakmampuan itu bias terjadi. Secara umum pendapat ulama dalam masalah sebab terjadinya fenomena ketidakmampuan orang Arab untuk menandingi Al-Quran ada dua pendapat, yaitu:[10]
a.    Muncul dari factor i’jaz yang terkait dan inheren dalam al-Quran
b.      Muncul dari luar al-Quran dengan adanya kesengajaan Allah untuk melemahkan  orang Arab secara intelektual (sharfah)

2.5 Kemukjizatan Ilmiah
Kemukjizatan Ilmiah Al-Qur’an bukanlah terletak pada pencakupannya akan teori-teori ilmiah yang selalu baru, berubah dan merupakan hasil usaha manusia dalam penelitian dan pengamatan. Tetapi ia terletak pada semangatnya dalam mendorong manusia agar memperhatikan dan memikirkan alam. Ia tidak mengebiri aktivitas dan kreatifitas akal dalam memikirkan alam semesta,atau menghalanginya dari penambahan ilmu pengetahuan yang dapat dicapainya. Dan tidak ada sebuah pun dari kitab-kitab agama terdahulu memberikan jaminan demikian seperti yang diberikan oleh Al-Qur’an.
Ia mendorong kaum muslimin agar memikirkan makhluk-makhluk Allah yang ada di langit dan di bumi:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,silih bergantinya malam dan siang terhadap tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(yaitu) mereka yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”(Ali Imran : 190-191).
 Al-Qur’an mengangkat derajat orang Muslim karena ilmunya,
“Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang         diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat....” (Al-Mujadilah : 11)
Al-Qur’an membedakan status antara  orang berilmu dengan orang tak berilmu dan jahil.
 “....Katakanlah:Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang                           yang tidak mengetahui?” (Az-Zumar : 9).
       Al-Qur’an memerintahkan umat islam agar meminta nikmat ilmu pengetahuan kepada Tuhannya.
       “Dan katakanlah: Ya Tuhanku,tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan,” (Thaha:114).
          Allah merangkai berbagai disiplin ilmu seperti; ilmu falak, botani, geologi dan zoologi, dalam satu ayat. Kesemuanya sebagi pendorong rasa takut kepada-Nya,
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit, lalu kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya, dan ada (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang dan binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Fathir : 27-28).
            Demikianlah, bahwa kemukjizatan Al-Qur’an secara ilmiah ini terletak pada semangatnya yang diberikan kepada umat Islam agar berpikir. Ia membukakan pintu-pintu ilmu pengetahuan. Ia seru mereka untuk memasukinya, maju di dalam ilmu pengetahuan, dan menerima segala ilmu pengetahuan baru yang valid dan stabil.
            Di samping hal-hal di atas di dalam Al-Qur’an terdapat isyarat-isyarat ilmiah yang diungkapkan dalam konteks hidayah. Misalnya, perkawinan tumbuh-tumbuhan itu ada yang dzati dan ada yang khalti. Yang pertama ialah tumbuh-tumbuhan yang bunganya telah mengandung organ jantan dan betina. Dan yang kedua ialah tumbuh-tumbuhan yang organ jantannya terpisah dari organ betina, seperti pohon kurma, sehingga perkawinannya terjadi melalui perpindahan. Diantaranya melalui angin. Penjelasan demikian terdapat dalam firmannya,
“Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan)...” (Al-Hijr : 22)
Pada akhirnya teori ilmu pengetahuan yang telah lulus uji kebenaran ilmiahnya akan selalu koheren dengan Al-Quran. Al-Quran dalam mengemukakan dalil-dalil, argument serta penjelasan ayat-ayat ilmiah, menyebutkan isyarat-isyarat ilmiah yang sebagaiannya baru terungkap pada zaman atom, planet dan penaklukan angkasa luar sekarang ini. Diantaranya adalah :
  1. “Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30). Dalam ayat ini terdapat isyarat ilmiah tentang sejarah tata surya dan asal mulanya yang padu, kemudian terpisah-pisahnya benda-benda langit (planet-planet), sebagian dari yang lain secara gradual. Begitu juga di dalamnya terdapat isyarat tentang asal-usul kehidupan yaitu dari air.
  2. “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. Al-Hijr: 22) ayat ini meberikan isyarat tentang peran angin dalam turunnya hujan begitu juga tentang pembuahan serbuk bunga tumbuh-tumbuhan.
  3. “Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam Keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka,” (QS. Al-Zalzalah: 6) adanyan pemeliharaan dan pengabadian segala macam perbuatan manusia di dunia. Dan jika ini dapat dilakukan manusia, maka pastilah itu jauh lebih mudah bagi Allah
  4. “Bukan demikian, sebenarnya Kami Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.” (QS. Al-Qiyamah: 4) diantara kepelikan penciptaan manusia adalah sidik jarinya. Ayat ini menyebutkan kenyataan ilmiah bahwa tidak ada jari-jari tangan seorang manusia yang bersidik jari yang sama dengan manusia yang lainnya.

2.6 Kemukjizatan Hukum
Diantara hal-hal yang mencengangkan akal dan tak mungkin dicari penyebabnya selain bahwa Al-Quran adalah wahyu Allah, adalah terkandungnya syari’at paling ideal bagi umat manusia, undang-undang yang paling lurus bagi kehidupan, yang dibawa Al-Quran unuk mengatur kehidupan manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Antara lain contohnya :
  1. Keadilan. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-nahl: 90).
  2. Mencegah pertumpahan darah. “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
  3. Pertahanan untuk menghancurkan fitnah dan agresi. “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah: 193).
    BAB III
PENUTUP

3.1                Kesimpulan
Sebuah pengembaraan intelektual memang sebuah kegiatan yang tiada akhir. Terutama lagi apabila obyek telaahnya adalah Al-Quran sebagai sosok kitab mukjizat yang tidak akan usang dimakan zaman. Bila boleh diibaratkan Al-Quran seakan berlian yang akan menampilkan sorot cahaya kemilau yang beraneka ragam warnanya sesuai dengan kondisi dan tuntutan yang melatarbelakangi seseorang yang sengaja menelitinya atau berniat mengharap berkahnya.
Mungkin karena itulah, setidaknya dari ulasan makalah singkat ini, keanekaragaman informasi dari segi kemukjizatan Al-Quran yang ditemukan dari pendapat-pendapat para ulama menjadi hal yang bisa dimaklumi. Akan tetapi yang perlu digaris bawahi adalah segala pendapat tentang segi kemukjizatan Al-Quran adalah merupakan varian yang saling mengisi dan melengkapi konstruk fenomena Al-Quran sebagai mukjizat, bukan sebaliknya saling menafikan.

3.2                Saran dan Kritik
            Makalah ini hanya sebagian kecil saja yang menguraikan tentang Kemukjizatan Al-Qur’an. Pemakalah menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna banyak sekali kekurangan dan kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari pemakalah. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Oleh karena itu, pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca. Akhirnya pemakalah mengucapkan Alhamdulillah atas terselesainya makalah ini. Dan mohon maaf atas segala kekurangan dan keterbatasan. Terimakasih



Tidak ada komentar:

Posting Komentar