BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia pada khususnya serta resesi dan ketidakseimbangan ekonomi global pada umumnya, adalah suatu bukti bahwa asumsi di atas salah total, bahkan ada sesuatu yang “tidak beres” dalam sistem yang kita anut selama ini. Tidak adanya nilai-nilai Illahiyah yang melandasi operasional Perbankan dan lembaga keuangan lainnya telah menjadikan lembaga “penyuntik darah” pembangunan ini sebagai “sarang-sarang perampok berdasi” yang meluluhlantahkan sendi-sendi perekonomian bangsa.
Dengan latar belakang inilah, maka seluruh praktik perbankan modern, yang mulai tumbuh dan berkembang sejak abad ke-16, sistem operasionalnya tidak bisa lepas dari riba. Akibat terlalu lama dan mendalamnya sistem riba dalam sistem perbankan ini menyebabkan hal tersebut sangat sukar untuk dipisahkan. Bahkan telah berakar dan berkarat dalam kerangka pikiran para bankir konvensional bahwa riba adalah darah dan nadi dari seluruh sistem perbankan.
Sekarang saatnya para Bankir yang masih mengimani Al Qur’an sebagai pedoman hidupnya dan Hadits sebagai panduan aktivitasnya berperan aktif dalam memajukan sistem Perbankan Syari’ah.
Oleh karena itu, akan sedikit kami ulas secara singkat tentang Maisir/Judi baik kecil ataupun besar, merupakan faktor yang dominan atau faktor kecil dari sebuah transaksi hukumnya adalah haram. Biasanya judi adalah merupakan untuk mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Maisir secara bahasa dan istilah?
2. Sebutkan dalil – dalil yang mengharamkan Maisir ?
3. Apakah perbedaan antara Maisir dan Gharar ?
4. Jelaskan tentang Maisir dalam asuransi konvensional !
5. Sebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan Maisir dalam asuransi konvensional !
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing mata kuliah Fiqih Mu’amalah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Maisir
Kata Maisir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa juga disebut berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam al-Quran adalah kata `azlam` yang berarti praktek perjudian.
Secara bahasa Maisir bisa dimaknakan dalam beberapa kalimat : Gampang/mudah, orang yang kaya dan wajib. Secara istilah, Maisir adalah setiap Mu’amalah yang orang masuk kedalamnya dan dia mungkin rugi dan mungkin beruntung. Kalimat “mungkin rugi dan mungkin untung”, juga ada dalam Mu’amalat jual beli, sebab orang yang berdagang mungkin untung mungkin rugi. Namun Mu’amalat jual beli ini berbeda dengan Maisir, seorang pedagang bila mengeluarkan uang maka ia memperoleh barang dan dengan barang itu ia bermu’amalat untuk meraih keuntungan walaupun mungkin ia mendapat kerugian, tapi Maisir, begitu seseorang mengeluarkan uang maka mungkin ia rugi atau tidak dapat apapun dan mungkin ia beruntung.
Ini definisi Maisir dalam istilah ulama, walaupun sebagian orang mengartikan Maisir ini ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian sempit, yaitu judi. Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu”.
Prinsip berjudi adalah terlarang, baik itu terlibat secara mendalam maupun hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali, mengharapkan keuntungan semata (misalnya hanya mencoba-coba) di samping sebagian orang-orang yang terlibat melakukan kecurangan, kita mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilangkan suatu kesempatan. Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam kategori definisi berjudi.
Judi pada umumnya (maisir) dan penjualan undian khususnya (azlam) dan segala bentuk taruhan, undian atau lotre yang berdasarkan pada bentuk-bentuk perjudian adalah haram di dalam Islam. Rasulullah s.a.w melarang segala bentuk bisnis yang mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi dan ramalan atau terkaan (misalnya judi) dan bukan diperoleh dari bekerja.
Perbedaan antara Gharar dan Maisir : Dalam membandingkan definisi gharar dan definisi maisir secara istilah nampak ada bentuk kemiripan. Kalimat maisir dan qimar lebih khusus dari gharar sebab tidaklah diragukan bahwa maisir dan qimar itu adalah gharar. Karena itu para ulama setiap maisir adalah gharar dan tidak setiap gharar adalah maisir. Contoh : Menjual pohon yang belum jelas hasilnya adalah gharar tapi tidak bisa di golongkan maisir.
2.2 Dalil – dalil Pengharaman Maisir :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)
Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersada :
مَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ بِشَيْءٍ
“Siapa yang berkata kapada temannya : “Kemarilah saya berqimar denganmu”,
مَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ بِشَيْءٍ
“Siapa yang berkata kapada temannya : “Kemarilah saya berqimar denganmu”,
maka hendaknya ia bershodaqoh.”
Qimar menurut sebagian ulama sama dengan maisir, dan menurut sebagian ulama lain qimar hanya pada mu’amalat yang berbentuk perlombaan atau pertaruhan. Dan hadits di atas menunjukan haramnya maisir/qimar dan ajakan melakukannya dikenakan kaffarah (denda) dengan bershodaqoh.
Dan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ‘ulama tentang haramnya maisir.
Qimar menurut sebagian ulama sama dengan maisir, dan menurut sebagian ulama lain qimar hanya pada mu’amalat yang berbentuk perlombaan atau pertaruhan. Dan hadits di atas menunjukan haramnya maisir/qimar dan ajakan melakukannya dikenakan kaffarah (denda) dengan bershodaqoh.
Dan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ‘ulama tentang haramnya maisir.
“Diriwayatkan oleh Abdullah bin Omar bahwa Rasulullah s.a.w. melarang berjualbeli yang disebut habal-al-habla semacam jual beli yang dipraktekkan pada zaman Jahiliyah. Dalam jual beli ini seseorang harus membayar seharga seekor unta betina yang unta tersebut belum lahir tetapi akan segera lahir sesuai jenis kelamin yang diharapkan “.
“Diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi, termasuk Jabir, Abu Hurairah, Abu Said Khudri, Said bin Al Musayyib dan Rafiy bin Khadij bahwa Rasulullah s.a.w. melarang transaksi muzabanah dan muhaqalah”.
Kedua jenis bisnis transaksi diatas sangat merakyat pada zaman sebelum Islam. Muzabanah adalah tukar menukar buah yang masih segar dengan yang sudah kering dengan cara bahwa jumlah buah yang kering sudah dapat dipastikan jumlahnya sedangkan buah yang segar ditukarkan hanya dapat ditebak karena masih berada di pohon. Sama halnya dengan muhaqalah yaitu penjualan gandum ditukar dengan gandum yang masih ada dalam bulirnya yang jumlahnya masih ditebak-tebak.
Disebabkan karena kejahatan judi itu lebih parah dari pada keuntungan yang diperolehnya, maka dalam Al-Qur`an, Allah swt sangat tegas dalam melarang maisir (judi dan semacamnya) sebagaimana ayat berikut:
“Mereka akan bertanya kepadamu tentang minuman keras dan judi, katakanlah: pada keduanya terdapat dosa besar dan manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari pada manfaatnya…” (QS. Al Baqarah 2:219).
Ayat di atas secara tegas menunjukkan keharaman judi. Selain judi itu rijs yang berarti busuk, kotor, dan termasuk perbuatan setan, ia juga sangat berdampak negatif pada semua aspek kehidupan. Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, social, moral, sampai budaya. Bahkan , pada gilirannya akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, setiap perbuatan yang melawan perintah Allah SWT pasti akan mendatangkan celaka.
Karena itu merupakan perbuatan setan, maka wajar jika kemudian muncul upaya-upaya untuk menguburkan makna judi. Sebab salah satu tugas setan, yang terdiri dari jin dan manusia, adalah mengemas sesuatu yang batil (haram) dengan kemasan bisnis yang baik dan menarik, atau dengan nama-nama yang indah, cantik, dan memiliki daya tarik, hingga tampaknya seakan-akan halal. Allah SWT berfirman:
“Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia” (QS. Al-An`am: 112)
Juga perhatikan firman-Nya:
“Dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan keindahan apa yang selalu mereka kerjakan” (QS. Al-An`am: 43)
Rasulullah SAW juga mensinyalir perbuatan setan yang demikian itu sebagai, “Surga itu dikelilingi oleh sesuatu yang tidak menyenangkan, sedangkan mereka (setan) dikelilingi oleh sesuatu yang menyenangkan”. (HR. Bukhari – Muslim).
2.3 Maysir Dalam Bisnis.
Maisir (judi/untung-untungan)
“Akad judi menurut Dr. Husain Hamid Hisan merupakan akad gharar, karena masing-masing pihak yang berjudi dan bertaruh tidak menentukan pada waktu akad, jumlah yang diambil atau jumlah yang ia berikan, itu bisa ditentukan nanti, tergantung pada suatu peristiwa yang tidak pasti, yaitu jika menang maka ia mengetahui jumlah yang diambil, dan jika kalah maka ia mengetahui jumlah yang ia berikan”.
Undian dapat dipandang sebagai perjudian dimana aturan mainnya adalah dengan cara menentukan suatu keputusan dengan pemilihan acak. Undian biasanya diadakan untuk menentukan pemenang suatu hadiah.
Contohnya adalah undian di mana peserta harus membeli sepotong tiket yang diberi nomor. Nomor tiket-tiket ini lantas secara acak ditarik dan nomor yang ditarik adalah nomor pemenang. Pemegang tiket dengan nomor pemenang ini berhak atas hadiah tertentu.
“Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu”.
Judi baik kecil ataupun besar, merupakan faktor yang dominan atau faktor kecil dari sebuah transaksi hukumnya adalah haram. Biasanya judi adalah merupakan untuk mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan. Dan Pada jaman jahiliah, maysir terdapat dalam dua hal yaitu :
· Dalam permainan dan atau perlombaan.
· Dalam transaksi bisnis/mu'amalat.
Dalam peraturan Bank Indonesia No 7/46/PBI/2005 dalam penjelasan pasal 2 ayat 3 menjelaskan bahwa maysir adalah transaksi yang mengandung perjudian, untung-untungan atau spekulatif yang tinggi.
Beberapa dalil yang menjelaskan keharaman berjudi adalah :
يَسْأَلُونَكَ عَنْ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِر ِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا [البقرة:219].
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan maysir, katakanlah bahwa didalamnya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat yang banyak, tetapi dosanya lebih banyak daripada manfaatnya ( QS Al-Baqarah 2:219).
Jadi unsur perjudian merupakan salah satu dari ketiga hal yang dilarangan paling mendasar dalam setiap muamalat/bisnis. Larangan judi sering dijadikan alasan kritik atas praktek pembiayaan konvensional seperti spekulasi, asuransi konvensional dan derivative.
Selanjutnya, Syaikh Hisan mengatakan tidak ada seorang pun dari para mujtahid yang mengatakan bahwa tasharrufaat (pembelanjaan-pembelanjaan) yang mengandung unsur “hura-hura, menghibur diri, dan menyia-nyiakan waktu” serta didalamnya tidak ada unsur riba dan grarar merupakan perjudian dan taruhan. Illat (sebab) keharaman judi bukan itu semua, tetapi illatnya adalah gharar, karena di dalam judi dan taruhan ada istilah “kemungkinan menang bagi satu pihak dan kemungkinan kalah bagi pihak lain”.
Mohd Fadzli Yusof, menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional terjadi karena didalamnya terdapat faktor gharar, beliau mengatakan: “adanya unsur al-maisir (perjudian) akibat adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang asuransi jiwa meninggal dunia, sebelum akhir periode polis asuransi, namun telah membayar sebagian preminya, maka tertanggungnya akan menerima sejumlah uang tertentu. Bagaimana cara memperoleh uang dan dari mana asalnya tidak diberitahukan kepada pemegang polis. Hal inilah yang dipandang sebagai al-maisir (perjudian) dalam asuransi konvensional”.
Dengan argumentasi yang hampir sama, Syafi`i Antonio mengatakan bahwa unsur maisir artinya adanya salah satu pihak yang untung namun dilain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga (untuk produk tertentu) maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja.
Pada kesempatan lain Syafi`i Antonio menjelaskan tentang maisir dalam asuransi konvensional sebagai berikut : Maisir adalah suatu bentuk kesepahaman antara beberapa pihak, namun ending yang dihasilkan hanya satu atau sebagian kecil saja yang diuntungkan. Sedangkan maisir (gambling/untung-untungan) dalam asuransi konvensional terjadi dalam tiga hal:
a. Ketika seorang pemegang polis mendadak kena musibah sehingga memperoleh hasil klaim, padahal baru sebentar menjadi klien asuransi dan baru sedikit membayar premi. Jika ini terjadi, nasabah diuntungkan
b. Sebaliknya jika hingga akhir masa perjanjian tidak terjadi sesuatu, sementara ia sudah membayar premi secara penua/lunas. Maka perusahaanlah yang diuntungkan.
c. Apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reserving period, maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan (cash value) kecuali sebagian kecil saja, bahkan uangnya dianggap hangus.
Salah satu pakar asuransi dan sekaligus praktisi asuransi yang cukup ternama di Indonesia, Muhaimin Iqbal, ACII mengatakan: Unsur maisir (perjudian) sebenarnya juga tidak disetujui dalam teori dasar asuransi konvensional. Dalam ilmu asuransi (konvensional) asuransi dianggap berbeda dengan judi karena kontrak asuransi harus berdasarkan adanya kepentingan keuangan (insurable interest) dan atas kepentingan keuangan tersebut hanya dijamin terhadap resiko murni (pure risk), artinya dengan ganti rugi asuransi nasabah nasabah hanya akan dipulihkan ke kondisi financial sesaat sebelum kejadian suatu resiko (principle indemnity), nasabah tidak boleh mendapatkan keuntungan dari terjadinya suatu resiko. Di sisi lain judi tidak mengharuskan adanya insurable interest dan resiko yang diperjudikan bersifat speculative atau salah satu pihak akan untung dan lain pihak rugi. Dari perbedaan inilah maka teori dasar asuransi menganggap bahwa asuransi bukanlah judi.
Tapi kenyataannya lanjut Iqbal, memang di praktek sangat berbeda dengan teori. Untuk aspek maisir (perjudian) misalnya, sangat sedikit pelaku asuransi yang menerapkan teorinya dengan serius dan menghindarkan bisnisnya dari sifat yang menyerupai perjudian atau untung-untungan.
Untuk menghindarkan diri dari unsur maisir (perjudian) tersebut, para pelaku asuransi tidak cukup hanya mengandalkan sisi klien harus memiliki insurable interest, dan kalau terjadi kerugian hanya diganti rugi ke kondisi sesaat sebelum kejadian (indemnity), tetapi disisi pengelolaan usaha khususnya dalam memilih portofolio resiko dan menentukan nilai premi juga harus sepadan (equitable) terhadap resiko yang dijamin. Oleh karena itulah maka di Indonesia bahkan ada peraturan yang mengharuskan suku premi asuransi dihitung berdasarkan statistik profil resiko sekurang-kurangnya 5 tahun.
Yang terjadi di lapangan adalah dari puluhan jenis produk asuransi (khususnya asuransi umum), hanya satu produk asuransi yaitu asuransi kebakaran yang statistiknya cukup untuk menghitung suku premi yang equitable. Selebihnya suku premi lebih banyak ditentukan oleh pengalaman dan kekuatan pasar sehingga sulit untuk meyakinkan bahwa suku premi yang dibayar oleh nasabah atau sekumpulan nasabah akan cukup untuk membayar ganti rugi nasabah yang kurang beruntung. Bahkan statistik yang memadai di asuransi kebakaran pun sering diabaikan oleh pelaku pasar. Sikap pelaku asuransi yang tidak menghiraukan teori dasarnya sendiri inilah yang membawa praktek asuransi sangat dekat atau bahkan bercampur dengan unsur maisir (perjudian).
2.4 Contoh Kasus
Untuk memperjelas penelitian dalam hal ini, ada Kasus yang dapat kami sampaikan yaitu kasus SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) dan PORKAS. Saat itu pemerintah bermaksud menggalang dana dari masyarakat untuk kemajuan olah raga dengan menarik dana sumbangan dari masyarakat, guna menarik masyarakat untuk berpartisipasi memberikan donasinya maka setiap orang yang menyumbang akan diberikan kupon, dan kupon-kupon tersebut akan diundi, bagi yang beruntung akan mendapatkan hadiah dengan nilai yang sangat besar. Dengan cara ini panitia dapat menghimpun dana sumbangan yang sangat besar , dan sebagian kecil dari sumbangan itu akan diberikan kepada sebagaian pemenang dalam bentuk hadiah, sedangkan dana mayoritas akan digunakan untuk kemajuan olahraga. Permasalahan yang kemudian muncul adalah apakah transaksi tersebut termasuk judi atau bukan, kasus ini berakhir dengan dicabutnya kupon SDSB dari peredaran karena dianggap judi dan haram hukumnya.
Dalam industri asuransi, adanya maisir atau gambling disebabkan karena adanya gharar sistem dan mekanisme pembayaran klaim. Jadi judi atau gambling terjadi illat-nya karena disana ada gharar. Prof. Mustafa Ahmad Zarqa mengatakan bahwa adanya unsur gharar menimbulkan al-qumaar. Sedangkan al-qumaar sama dengan al-maisir, gambling dan perjudian. Artinya ada salah satu pihak yang untung tetapi ada pula pihak lain yang dirugikan.
Al Ustadz Dzulqornain bin Muhammad Sunusi dalam menguraikan tentang hukum undian diharuskan untuk kembali mengingat beberapa kaidah syari’at Islam yang telah dijelaskan dalam tulisan bagian pertama dalam pembahasan ini.
Kaidah - kaidah tersebut adalah sebagai berikut : Pertama : Kaidah yang tersebut dalam riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu : “ Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli gharar. ”Gharar adalah apa yang belum diketahui diperoleh tidaknya atau apa yang tidak diketahui hakekat dan kadarnya. Kedua : Kaidah syari’at yang terkandung dalam firman Allah Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamr maisir berhala mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran khamr dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang ; maka berhentilah kamu ” Dan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu riwayat Al Bukhori dan Muslim Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“ Siapa yang berkata kepada temannya : Kemarilah saya berqimar denganmu maka hendaknya dia bershodaqoh. ”Yaitu hendaknya dia membayar kaffaroh menebus dosa ucapannya.
Ayat dan hadits di atas menunjukkan haramnya perbuatan maisir dan qimar dalam mu’amalat. Maisir adalah tiap mu’amalah yang orang masuk ke dalamnnya setelah mengeluarkan biaya dengan dua kemungkinan ; dia mungkin rugi atau mungkin dia beruntung. Qimar menurut sebagian ulama adalah sama dengan maisir dan menurut sebagian ulama lain qimar hanya pada mu’amalat yang berbentuk perlombaan atau pertaruhan. Berdasarkan dua kaidah di atas berikut ini kami akan berusaha menguraikan bentuk-bentuk undian secara garis besar beserta hukumnya. Macam-macam undian dapat dibagi menjadi tiga bagian: Satu : Undian Tanpa Syarat Bentuk dan contohnya : Di pusat-pusat perbelanjaan pasar pameran dan semisalnya sebagai langkah untuk menarik pengunjung kadang dibagikan kupon undian untuk tiap pengunjung tanpa harus membeli suatu barang. Kemudian setelah itu dilakukan penarikan undian yang dapat disaksikan oleh seluruh pengunjung. Hukumnya : Bentuk undian yang seperti ini adalah boleh. Karena asal dalam suatu mu’amalah adalah boleh dan halal. Juga tidak terlihat dalam bentuk undian ini hal-hal yang terlarang berupa kezhaliman riba gharar penipuan dan selainnya. Dua : Undian Dengan Syarat Membeli Barang Bentuknya : Undian yang tidak bisa diikuti kecuali oleh orang membeli barang yang telah ditentukan oleh penyelenggara undian tersebut. Contohnya : Pada sebagian supermarket telah diletakkan berbagai hadiah seperti kulkas radio dan lain-lainnya. Siapa yang membeli barang tertentu atau telah mencapai jumlah tertentu dalam pembelian maka ia akan mendapatkan kupon untuk ikut undian. Contoh lain : sebagian perusahaan telah menyiapkan hadiah-hadiah yang menarik seperti Mobil HP Tiket Biaya Ibadah Haji dan selainnya bagi siapa yang membeli darinya suatu produk yang terdapat kupon/kartu undian. Kemudian kupon atau kartu undian itu dimasukkan ke dalam kotak- kotak yang telah disiapkan oleh perusahaan tersebut di berbagai cabang atau relasinya. Hukumnya : undian jenis ini tidak lepas dua dari dua keadaan :- Harga produk bertambah dengan terselenggaranya undian berhadiah tersebut. Hukumnya : Haram dan tidak boleh. Karena ada tambahan harga berarti ia telah mengeluarkan biaya untuk masuk ke dalam suatu mu’amalat yang mungkin ia untung dan mungkin ia rugi. Dan ini adalah maisir yg diharamkan dalam syariat Islam.- Undian berhadiah tersebut tidak mempengaruhi harga produk. Perusahaan mengadakan undian hanya sekedar melariskan produknya. Hukumnya : Ada dua pendapat dalam masalah ini : 1. Hukumnya harus dirinci. Kalau ia membeli barang dengan maksud untuk ikut undian maka ia tergolong ke dalam maisir/qimar yang diharamkan dalam syariat karena pembelian barang tersebut adalah sengaja mengeluarkan biaya untuk bisa ikut dalam undian. Sedang ikut dalam undian tersebut ada dua kemungkinan ; mungkin ia beruntung dan mungkin ia rugi. Maka inilah yang disebut Maisir/Qimar adapun kalau dasar maksudnya adalah butuh kepada barang/produk tersebut setelah itu ia mendapatkan kupon untuk ikut undian maka ini tidak terlarang karena asal dalam muámalat adalah boleh dan halal dan tidak bentuk Maisir maupun Qimar dalam bentuk ini. Rincian ini adalah pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin {Liqoul Babul Maftuh no.48 soal 1164 dan no.49 soal 1185. Dengan perantara kitab Al-Hawafidz At-Tijaiyah At-Taswiqiyah} Syaikh Sholih bin ‘Abdul ’Aziz Alu Asy-Syaikh {dalam muhadhoroh beliau yang berjudul “Al Qimar wa Shuwarihil Muharromah} Lajnah Baitut Tamwil Al-Kuwaiti{Al Fatawa Asyar’iyyah Fi Masail Al Iqtishodiyah fatwa no.228. Dengan perantara kitab Al-Hawafidz At-Tijaiyah At-Taswiqiyah} dan Haiah Fatwa di Bank Dubai Al-Islamy{dalam fatwa mereka no.102 Dengan perantara kitab Al-Hawafidz At- Tijaiyah At-Taswiqiyah}.1. Hukumnya adalah haram secara mutlak. Ini adalah pendapat Syaikh Abdul’Äziz bin Baz{Fatawa Islamiyah 2/367-368. Dengan perantara kitab Al-Hawafidz At-Tijaiyah At- Taswiqiyah}dan Al-Lajnah Ad-Da’imah{Fatawa Islamiyah 2/366-367. Dengan perantara kitab Al- Hawafidz At-Tijaiyah At-Taswiqiyah} Alasannya karena hal tersebut tidak lepas dari bentuk Qimar/Maisir dan mengukur maksud pembeli apakah ia memaksudkan barang atau sekedar ingin ikut undian adalah perkara yang sulit. Tarjih yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama. Karena tidak hanya adanya tambahan harga pada barang dan dasar maksud pembeli adalah membutuhkan barang tersebut maka ini adalah mu’amalat yang bersih dari Maisitr/Qimar dan ukuran yang menggugurkan alasan pendapat kedua. Dan asal dalam mu’amalat adalah boleh dan halal. Wallahu A’lam. Tiga : Undian dengan mengeluarkan biaya. Bentuknya : Undian yang bisa diikut tiap orang yang membayar biaya untuk ikut undian tersebut atau mengeluarkan biaya untuk bisa mengikuti undian tersebut dengan mengeluarkan biaya. Contohnya : Mengirim kupon/kartu undian ketempat pengundian dengan menggunakan perangko pos, tentunya mengirim dengan perangko mengeluarkan biaya sesuai dengan harga perangkonya. Contoh Lain : Ikut undian dengan mengirim SMS kelayanan telekomunikasi tertentu baik dengan harga wajar maupun dengan harga yang telah ditentukan. Contoh lain : Pada sebagian tutup minuman tertera nomor yang bisa dikirim ke layanan tertentu dengan menggunakan SMS kemudian diundi untuk mendapatkan hadiah yang telah ditentukan.
mas, daftar pustakanya ada gak ya?
BalasHapusMau copas yaa hahaha
BalasHapus