BAB 1
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah, tuhan semesta alam. Dengan rahmat dan karuniaNyalah makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, sebagai pendidik dan teladan yang baik. Semoga shalawat dan salam juga terlimpahkan kepada keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang istiqomah dalam menjalankan sunnahnya hingga akhir zaman.
Umat Islam dewasa ini, baik di Indonesia maupun di belahan dunia yang lain sedang mengalami kegandrungan/bergairah untuk bersama–sama mengungkapkan kembali makna Islam yang sesungguhnya serta mencari jalan dan cara menterjemahkan nilai–nilai Islam kedalam realita sosial ekonomi. Praktek hukum ekonomi syariah sebenarnya telah ada sejak umat Islam membangun masyarakat seperti halnya sistem wadhi’ah, kafalah, pendelegasian (wakalah), ghasab, luqathah dan lain – lain.
Perbankan syariah di Indonesia telah banyak mengalami inovasi dan modifikasi dari konsep-konsep dasar ekonomi Islam yang ditemukan di kitab-kitab fiqh. Hal ini disebabkan karena konsep-konsep dasar tersebut telah disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan tuntutan pasar serta pengaruh sistem-sistem perekonomian yang berlaku secara umum di Indonesia. Karena itu, produk-produk perbankan syariah dan sistem operasionalnya, di Indonesia, lebih terkesan praktis, pragmatis dan unik.
Produk perbankan syariah yang beranjak dari muamalat Islamiyah yaitu wakalah. Wakalah merupakan sebuah akad sekaligus produk yang ditawarkan perbankan syariah maupun LKS syariah lainnya.
Pada makalah ini pemakalah mencoba untuk memaparkan seluk beluk akad yang berhubungan dengan wakalah yang diterapkan oleh perbankan syariah maupun dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
Wakalah menurut bahasa ada beberapa makna, antara lain, hifzh (menjaga), tafwidh (menyerahkan, mendelegasikan dan memberikan mandat) dan i’timad (bersandar).[1] Wakalah menurut istilah adalah permintaan seseorang kepada orang lain agar menjadi wakilnya dalam sesuatu yang bisa diwakili.[2]
Pengertian mewakilkan bukan berarti seorang wakil dapat bertindak semaunya, akan tetapi si wakil berbuat sesuai dengan yang diinginkan oleh orang yang memberi kewenangan tersebut. Akan tetapi kalau orang yang mewakilkan tersebut tidak memberi batasan atau aturan-aturan tertentu, maka menurut Abu Hanifah si penerima wakil dapat berlaku sesuai dengan yang diinginkan dan dia diberikan kebebasan untuk melakukan sesuatu.
Jika perwakilan tersebut bersifat terikat, maka wakil berkewajiban mengikuti apa saja yang telah ditentukan oleh orang yang mewakilkan, ia tidak boleh menyalahinya. Menurut Madzhab Imam Syafi’i, apabila yang mewakili menyalahi aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan pihak yang mewakilkan, maka tindakan tersebut batal.
2.2 DASAR HUKUM WAKALAH
Menurut agama Islam, seseorang boleh mendelegasikan suatu tindakan tertentu kepada orang lain dimana orang lain itu bertindak atas nama pemberi kuasa atau yang mewakilkan sepanjang hal-hal yang dikuasakan itu boleh didelegasikan oleh agama. Dalil yang dipakai untuk menunjukkan kebolehan itu, antara lain :
1. Al-Qur’an
“jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[1] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah 283).
2. Al-Hadits
Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan Wakalah, diantaranya:
1. “Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”. HR. Malik dalam al-Muwaththa’)
2. “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).
Dalam kehidupan sehari-hari, Rosulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain.
3. Ijma’
Para ulama pun bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannya Wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas dasar kebaikan dan taqwa. Tolong-menolong diserukan oleh Al-Qur’an dan disunahkan oleh Rasulullah.
Allah berfirman :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maidah:2)
Dan Rasulullah pun bersabda “Dan Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya”.
2.3 RUKUN DAN SYARAT WAKALAH
Rukun wakalah adalah sebagai berikut :
1. Muwakil (Pemberi kuasa)
2. Wakil (Penerima kuasa)
3. Muwakkal fih (Sesuatu yang diwakilkan)
4. Sighat (Lafaz mewakilkan)
Sedangkan syarat – syarat wakalah adalah :
1. Bagi pemberi kuasa, ia adalah pemilik barang atau di bawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut. Jika yang memberi kuasa bukan pemilik, wakalah tersebut batal.
2. Bagi penerima kuasa, ia adalah orang yang berakal. Bila seorang wakil itu idiot, gila atau belum dewasa, maka perwakilan tersebut batal.
3. Syarat – syarat sesuatu yang diwakilkan adalah :
a. Sesuatu yang bisa diwakilkan. Seperti, jual beli, gadai, pinjam meminjam dan sewa.
b. Diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar. Seperti, seorang berkata : “Aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku.”
2.4 MACAM-MACAM WAKALAH
Wakalah terbagi menjadi, muthlaq dan muqayyad.
a. Wakalah muqayyad adalah wakalah dimana muwakil membatasi tindakan wakil dan menentukan cara melaksanakan tindakan tersebut. Misalnya, “Aku wakilkan padamu untuk menjual rumahku ini dengan harga sekian”.
b. Wakalah muthlaq adalah wakalah yang terbebas dari setiap batasan. Misalnya, “Aku wakilkan padamu untuk menjual rumahku”. Maka wakil dapat menjualnya dengan harga layak dan tidak terbatas dengan harga tertentu.
2.5 SKEMA WAKALAH
2.6 MEWAKILKAN UNTUK JUAL BELI
Seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sesuatu tanpa adanya ikatan harga tertentu, pembayarannya tunai atau berangsur, di kampung atau di kota, maka wakil tidak boleh menjualnya dengan seenaknya saja. Dia harus menjual dengan harga pada umumnya sehingga dapat dihindari ghubun (kecurangan), kecuali penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan.
Jika perwakilan bersifat terikat, wakil berkewajiban mengikuti apa saja yang telah ditentukan oleh orang yang mewakilkan. Ia tidak boleh menyalahinya, Bila dalam persyaratan ditentukan bahwa benda itu harus dijual dengan harga Rp 10.000,00 maka harus dijual dengan harga Rp 10.000,00.
Bila yang mewakili menyalahi aturan – aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan pihak yang memberi kuasa, maka perbuatan tersebut bathil menurut pandangan madzhab Syafi’i. Menurut Hanafi tindakan itu tergantung pada kerelaan orang yang mewakilkan, jika yang mewakilkan membolehkannya maka menjadi sah, bila tidak, maka menjadi batal.
2.7 BERAKHIRNYA AKAD WAKALAH
Akad perwakilan berakhir dengan hal – hal berikut ini :
1. Kematian atau kegilaan salah satu dari dua orang yang berakad. Diantara syarat – syarat perwakilan adalah kehidupan dan keberadaan akal. Apabila terjadi kematian atau kegilaan maka perwakilan telah kehilangan sesuatu yang menentukan kesahannya.
2. Diselesaikan pekerjaan yang dituju dalam perwakilan. Apabila pekerjaan yang dituju telah selesai maka perwakilan tidak lagi berarti.
3. Pemecatan wakil oleh muwakil, meskipun wakil tidak mengetahuinya.[3] Sementara menurut madzhab Hanafi, wakil harus mengetahui pemecatan. Sebelum dia mengetahui pemecatan, tindakan – tindakannya sama dengan tindakan – tindakannya sebelum pemecatan dalam semua hukum.
1. Pengunduran diri wakil.
2. Keluarnya muwakkal fih dari kepemilikan muwakil
2.8 APLIKASI WAKALAH DALAM INSTITUSI KEUANGAN
Akad Wakalah dapat diaplikasikan ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang ekonomi, terutama dalam institusi keuangan:
a. Transfer uang
Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad Wakalah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai muwakkil terhadap bank sebagai wakil untuk melakukan perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada rekening tujuan. Berikut adalah beberapa contoh proses dalam transfer uang ini :
a. Transfer uang melalui cabang suatu bank
Dalam proses ini, muwakkil memberikan uangnya secara tunai kepada bank yang merupakan wakil, namun bank tidak memberikannya secara langsung kepada nasabah yang dikirim. Tetapi bank mengirimkannya kepada rekening nasabah yang dituju tersebut.
b. Transfer melalui ATM
Kemudian ada juga proses transfer uang dimana pendelegasian untuk mengirimkan uang, tidak secara langsung uangnya diberikan dari muwakkil kepada bank sebagai wakil. Dalam model ini, muwakkil meminta bank untuk mendebet rekening tabungannya, dan kemudian meminta bank untuk menambahkan di rekening nasabah yang dituju sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat sering terjadi saat ini adalah proses yang kedua ini, dimana nasabah bisa melakukan transfer sendiri melalui mesin ATM.
Akad untuk transaksi Letter of Credit Import Syariah ini menggunakan akad wakalah bil ujrah[5]. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 34/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah bil Ujrah ini memiliki definisi dimana nasabah memberikan kuasa kepada bank dengan imbalan pemberian ujrah atau fee. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan situasi yang terjadi. Akad wakalah bil Ujrah dengan ketentuan:
1. Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang diimpor.
2. Importir dan Bank melakukan akad wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor.
3. Besar ujrah harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
c. Letter Of Credit Eksport Syariah
Akad untuk transaksi Letter of Credit Eksport Syariah ini menggunakan akad wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002. Akad wakalah ini memiliki definisi dimana bank menerbitkan surat pernyataan akan membayar kepada eksportir untuk memfasilitasi perdagangan eksport. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan sutuasi yang terjadi. Akad wakalah bil ujrah dengan ketentuan :
1. Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor.
2. Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah.
3. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam presentase.
2.9 FATWA MUI WAKALAH
Seiring dengan berkembangnya institusi keuangan Islam di Indonesia, maka suatu aturan hukum turut pula dikembangkan untuk melegalisasi serta melindungi akad-akad yang sesuai Syari’ah Islam diterapkan dalam Sistem Keuangan Islam di Indonesia. Maka dari itu, Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa NO: 10/DSN-MUI/IV/2000.
Fatwa ini ditetapkan pada saat Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional (8 Muharram 1421 H./13 April 2000) yang menetapkan :
a. Ketentuan Wakalah.
b. Rukun dan Syarat Wakalah
c. Aturan terjadinya perselisihan
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari sekian banyak akad-akad yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Wakalah termasuk salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah, akad Wakalah dapat diterima. Pengertian Wakalah adalah:
a. Perlindungan (al-hifzh)
b. Pencukupan (al-kifayah)
c. Tanggungan (al-dhamah)
d. Pendelegasian (al-tafwidh)
Dalam akad Wakalah beberapa rukun dan syarat harus dipenuhi agar akad ini menjadi sah:
1. Muwakil (Pemberi kuasa)
2. Wakil (Penerima kuasa)
3. Muwakkal fih (Sesuatu yang diwakilkan)
4. Sighat (Lafaz mewakilkan)
Sedangkan syarat – syarat wakalah adalah :
1. Bagi pemberi kuasa, ia adalah pemilik barang atau di bawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut. Jika yang memberi kuasa bukan pemilik, wakalah tersebut batal.
2. Bagi penerima kuasa, ia adalah orang yang berakal. Bila seorang wakil itu idiot, gila atau belum dewasa, maka perwakilan tersebut batal.
Syarat – syarat sesuatu yang diwakilkan adalah :
a. Sesuatu yang bisa diwakilkan. Seperti, jual beli, gadai, pinjam meminjam dan sewa.
b. Diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar. Seperti, seorang berkata : “Aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku.”
Akad Wakalah telah dapat diterapkan dalam Institusi Keuangan Islam di Indonesia. Fatwa untuk akad ini telah dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia NO: 10/DSN-MUI/IV/2000. Hal ini akan mendukung perkembangan produk-produk keuangan Islam dengan akad Wakalah, yang mana akan mendukung pula perkembangan perbankan dan investasi Syariah di Indonesia.
3.2 SARAN
Makalah ini hanya sebagian kecil saja menguraikan tentang ‘WAKALAH’. Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna banyak sekali kesalahan dan kekurangan, baik dari segi penulisan maupun dari penyusunan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Oleh karena itu, penyusaun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca. Akhirnya penyusun mengucapkan Alhamdulillah atas terselesaikannya makalah ini.
[1]
[1] Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan,Pengantar Study Syariah, (Robbani Press : Jakarta), hlm. 426 – 427.
[1] Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan,Pengantar Study Syariah, (Robbani Press : Jakarta), hlm. 426 – 427.
[3]
[3] Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i dan para ulama madzhab Hanbali. Setelah pemecatan apa yang ada ditangan wakil menjadi amanat.
[3] Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i dan para ulama madzhab Hanbali. Setelah pemecatan apa yang ada ditangan wakil menjadi amanat.
[4]
[4] Surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh Bank atas permintaan importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu.
[4] Surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh Bank atas permintaan importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu.
KEREN, KAK
BalasHapus