BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah jual beli kredit dalam kajian disiplin ilmu fikih, agaknya tidak pernah menempati posisi pembahasan yang mandiri, komprehensif dan integral.Oleh karena itu, wajar jika dalam berbagai literatur tak satu pun yang mengungkapkan pengertian istilah tersebut secara terminologi.
Meski demikian, Admin menganggap penting untuk mengemukakan pengertian istilah ini, baik dari satu sisi literal maupun dalam konteks peristilahan fikih, tentu saja sebatas kemampuan penulis. Hal ini diharapkan menjadi wacana awal dalam memahami persoalan yang tengah kita bahas.
Kata al-bai’ adalah masdar dari kata kerja yang berarti lawan dari membeli atau menyerahkan barang dan menerima harganya. Secara etimologi al-bai’ berarti menjual dan membeli.
Defenisi al-bai’ secara terminologi sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq adalah :
“Yang dimaksud dengan jual beli menurut syara’ adalah saling menukar harta dengan harta secara suka sama suka, atau pemindahan hak milik dengan adanya penggantian menurut cara yang dibolehkan”.
Selanjutnya, Wahbah al-Zuhaili memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan jual beli disini adalah suatu akad (transaksi) yang terdiri dari ijab qabul”.
Dari definisi di atas, dapat dikemukakan beberapa hal tentang jual beli:
1. Jual beli adalah satu bagian muamalah berbentuk transaksi.
2. Jual beli tersebut diwujudkan dengan ijab qabul.
3. Jual beli yang dilaksanakan tersebut bertujuan atau dengan motif mencari keuntungan.
Sedangkan pengertian kredit adalah sesuatu yang dibayar secara berangsur-angsur, baik itu jual beli maupun dalam pinjam meminjam.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Bai Taqsith?
2. Muhammad Aqlah Ibrahim berpendapat bahwa, ada beberapa pedoman yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami maksud bai’ bit taqsith secara syar’i, sebutkan !
3. Sebutkan nasehat yang diberikan Syaikh al-Albani dalam perkara jual beli kredit !
4. Sebutkan dalil syari’ dalam membolehkan akad jual-beli kredit atau bai’ bit taqsith yang menghalalkan praktik bai’ atau jual-beli secara umum !
5. Jelaskan fatwa yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah !
1.3 Tujuan Pembuatan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing mata kuliah Fiqih Mu’amalah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Bai Taqsith
Arti dari bai’ adalah menjual sedangkan pengertian Taqsith, secara bahasa adalah bermakna membagi sesuatu menjadi bagian-bagian tertentu dan terpisah. Adapun secara istilah, jual beli secara taqsith adalah menjual sesuatu dengan pembayaran yang ditangguhkan, diserahkan dengan pembagian-pembagian tertentu pada waktu yang telah ditetapkan dengan jumlah keseluruhannya yang lebih banyak dari harga kontan. Atau dengan kata lain bai’ bittaqsith ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. Secara umum bai bittaqsith lebih dikenal dengan sebutan pembelian secara kredit.
Muhammad Aqlah Ibrahim berpendapat bahwa, ada beberapa pedoman yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami maksud bai’ bit taqsith secara syar’i.
Pertama, seorang pedagang menjual barang dagangannya secara muajjalah-kredit-dengan ketentua harga lebih tinggi dari pada secara tunai.
Ketiga, pembayaran yang diangsur ialah sesuatu yang pembayarannya dipersyaratkan diangsur dengan cicilan tertentu pada waktu tertentu pula.
Bai Taqsith sangat dibutuhkan masyarakat dan mendatangkan manfaat bagi pembeli & penjual. Konsumen bisa mendapatkan barang yang dibutuhkannya, meskipun ia tidak memiliki uang yang cukup untuk memilikinya secara kontan atau bayaran penuh.
Perbedaan harga cicilan dari harga kontan bukan termasuk riba. Itu merupakan keuntungan dalam jual beli barang sebagai kompensasi tertahannya hak penjual dalam jangka waktu tertentu. Aplikasi bai’ taqsith dapat mendatangkan kemudahan (taysir) bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, karena banyak orang tidak mampu menyerahkan harga secara menyeluruh atau membayar dengan kontan. Tetapi dengan cicilan, ia bisa memanfaatkan dan memiliki barang yang dibutuhkannya.
Jual beli kredit dengan penambahan harga karena cicilan adalah halal menurut hukum syariah. Maka, jika seseorang menjual suatu barang dengan harga yang dibayar secara tangguh atau cicilan dimana harganya bertambah dari harga cash, maka jual beli itu boleh. Jika harga cash harus sama dengan harga kredit, misalnya sebuah rumah berharga Rp 300 juta cash dan harga kredit 10 tahun juga Rp 300 juta, maka hal itu tentu tidak logis, tidak rasional dan tidak adil. Tidak seorangpun penjual mau melakukan hal itu, karena hal itu merugikannya. Penjual tersebut tidak dapat menutup modal yang ia gunakan untuk membeli barang tersebut, dan juga tidak dapat membeli lagi barang yang serupa dengan itu atau yang lainnya. Jadi, perbedaan harga cash dan kredit adalah suatu kebolehan dan konsumen pun mendapatkan kemudahan mendapatkan barang yang dibutuhkannya meskipun uangnya jauh dari cukup.
Dalil syari’ dalam membolehkan akad jual-beli kredit atau bai’ bit taqsith diambil dari dalil-dalil Al-Qur’an yang menghalalkan praktik bai’ atau jual-beli secara umum, diantaranya firman Allah surat Al-Baqoroh ayat 275: “Alloh menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. Pelarangan untuk memakan riba ini dikuatkan dengan adanya dalil yang melarang manusia untuk memakan atau memiliki harta dari orang lain kecuali dengan jalan suka sama suka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlangsung atas dasar suka sama-suka di antara kamu”.
Dilihat dari dalil terebut, maka Jual beli dengan cara taqsith adalah transaksi yang berlangsung atas dasar suka sama suka, berarti jual beli secara taqsith ini adalah boleh menurut nash ayat tersebut. Alloh Ta’ala juga berfirman dalam surat Al-Baqoroh ayat 282:
فَاكْتُبُوهُ مُسَمّىً أَجَلٍ إِلَى بِدَيْنٍ تَدَايَنْتُمْ إِذَا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Kaidah fikih menyatakan bahwa “Asal dalam setiap mu’amalah adalah halal dan boleh”. Karena tidak ada nash atau dalil yang menunjukkan haramnya membuat dua harga pada suatu barang, yaitu harga kontan dan harga kredit lalu penjual dan pembeli melakukan transaksi pada salah satu dari keduanya, maka jual beli dengan cara taqsith adalah halal berdasarkan kaidah ini.
Bai bittaqsith atau jual-beli secara kredit juga memiliki aturan tertentu, para ulama telah merinci beberapa ketentuan mengenainya, yaitu :
1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli.
2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai’ gharar, atau ‘bisnis penipuan’.
3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’ muththarr atau ‘jual-beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak diragukan lagi bahwa jual beli secara taqsith adalah mustahab atau sunnah, dianjurkan bila dilakukan dengan maksud memudahkan pembeli sesuai dengan apa yang mencocoki keadaannya.
Adanya persyaratan dari penjual agar hak kepemilikan diserahkan kepada pembeli saat penyerahan cicilan terakhir, yaitu pembeli telah mengambil barangnya namun penulisan keterangan surat atau bukti kepemilikan bahwa barang itu adalah miliknya diserahkan saat pelunasan cicilan terakhir. Hal ini diperbolehkan jika dimaksudkan agar pembeli komitmen dan serius dalam menyelesaikan tunggakannya dan bila pembeli bangkrut, barang tidak diikutkan dalam perhitungan barang yang bangkrut sehingga merugikan penjual.
Adapun jika hak kepemilikan sudah ditetapkan dan tertulis untuk pembeli maka tidak mengapa penjual menyimpannya sebagai jaminan agar pembeli tetap menyelesaikan tunggakannya. Tidak diperbolehkan penjual menetapkan denda materi terhadap pembeli bila terjadi keterlambatan pembayaran setelah jatuh tempo, sama sekali tidak diperbolehkan walaupun penetapan denda terjadi sebelum akad transaksi karena hal tersebut tergolong riba jahiliyah.
Tidaklah pantas seorang muslim membeli dengan cara taqsith kecuali jika mempunyai kemampuan untuk membayar cicilannya dan bersungguh-sungguh untuk hal itu agar ia tidakmerugikan orang lain dan tidak pula membebani dirinya dengan sesuatu yang ia tidak mampu untuk menyelesaikannya.
Jika seseorang membeli sesuatu secara taqsith walaupun ia mampu membayar secara kontan. Walau demikian jika seseorang mampu membayar dengan cash atau kontan maka itu adalah lebih baik bagi dirinya dan lebih terpuji.
2.2 Hukum Jual – Beli Kredit
Dalam jual beli kredit umumnya penjual menetapkan harga kredit yang lebih mahal daripada harga kontan (cash). Misalnya, penjual menetapkan harga sebuah sepeda motor seharga Rp 10 juta jika dibayar kontan, dan Rp 12 juta jika dibayar kredit dalam jangka waktu tertentu. Dalam jual beli kredit ini penjual seringkali menetapkan uang muka. Dengan ketentuan, jika jual beli jadi, uang
muka akan dihitung sebagai bagian harga.Jumhur fuqaha seperti ulama mazhab yang empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah) membolehkan jual beli kredit, meski penjual menjual barang dengan harga kredit yang lebih mahal daripada harga kontan.Inilah pendapat yang kuat (rajah). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalah Al-Maliyah Al-Muashirah, hal. 316, Asy-Syaukani, Nailul Authar, 8/199; An-Nabhani.
Dalil kebolehannya adalah keumuman dalil-dalil yang telah membolehkan jual beli, misalnya QS Al-Baqarah : 275 (artinya), ”Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Rasulullah SAW, bersabda, ”Sesungguhnya jual beli itu adalah atas dasar saling ridha.” (Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Fatawa (29/499)
Kata “jual beli” ini bersifat umum, mencakup jual beli kredit. Diriwayatkan bahwa Thawus, Al-Hakam, dan Hammad berkata bahwa tidaklah mengapa kalau penjual berkata kepada pembeli,’Aku jual kontan kepadamu dengan harga sekian, dan aku jual kredit kepadamu dengan harga sekian,’ lalu pembeli membeli dengan salah satu dari dua harga itu.
Adapun mengenai uang muka (DP), hukumnya boleh. Karena ada riwayat bahwa Umar bin Khaththab pernah membeli rumah dari Shofwan bin Umayyah dengan harga 4000 dirham, dengan ketentuan jika Umar rela, maka jual beli dilaksanakan dengan harga tersebut. Jika Umar tidak rela (tidak jadi beli), Shofwan berhak mendapat 400 dirham (10 % dari harga).
Adapun mengenai uang muka (DP), hukumnya boleh. Karena ada riwayat bahwa Umar bin Khaththab pernah membeli rumah dari Shofwan bin Umayyah dengan harga 4000 dirham, dengan ketentuan jika Umar rela, maka jual beli dilaksanakan dengan harga tersebut. Jika Umar tidak rela (tidak jadi beli), Shofwan berhak mendapat 400 dirham (10 % dari harga).
2.3 Pendapat Ulama tentang Jual Beli Kredit dengan Tambahan Harga
Jual beli secara kredit dengan tambahan harga belum menyebar dan belum begitu dikenal oleh masyarakat zaman dulu, tetapi menyebar dan mendunia hingga menjadi semacam wabah penyakit yang menimpa penduduk dunia pada kurun waktu berikutnya.Oleh karena itu, cukup masuk akal jika kita tidak mendapatkan pembahasannya dalam kitab-kitab fikih dan tidak pula dalam kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan pembahasan dalam fikih.
Dalam masyarakat modern sekarang ini, pembelian barang secara kredit akhir-akhir ini banyak sekali terjadi. Karena memang ada anggota masyarakat yang membutuhkan suatu barang tetapi tidak mempunyai uang tunai, dan tidak ada penjual barang tersebut kecuali dengan cara kredit dengan adanya tambahan harga. Sebaliknya, ada orang yang membutuhkan uang tunai tetapi tidak ada yang menghutanginya dengan cara yang baik (kecuali dengan bunga pula), sehingga tidak ada yang mneguntungkan baginya kecuali membeli secara kredit dengan ada tambahan harga.
Hukum jual beli kredit dengan tambahan harga, sedikitnya ada tiga pendapat ulama:
1. Haram secara Mutlak.
Kelompok ulama yang mengharamkan secara mutlak jual beli kredit dengan harga tambahan, diwakili oleh mazhab Hadawiyah dari kelompok Zaidiyah serta sebagaian ulama yang lain. Mereka beralasan karena ada tambahan harga yang berarti sama dengan haramnya riba. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah/2: 275, yang berbunyi:
“Orang-orang yang memakan (harta) riba, tiada berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang dibantingkan oleh syaithan karena gila. Demikian itu karena mereka berkata: Jual beli itu hanya seperti riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Wajh al-istidlal-al-istidlal-nya ayat di atas menurut mereka adalah keumuman ayat yang menunjukkan atas keharaman tiap-tiap tambahan, kecuali ada dalil lain yang mentakhshis-kannya. Riba dalam pengertian bahasa adalah tambahan, dan tambahan harga dalam jual beli kredit terhadap harga kontan merupakan tambahan tanpa ‘iwadh dalam akad, maka dia adalah riba.
Munaqasyah al-adillah terhadap ayat di atas, bahwa ayat tersebut tidaklah menghendaki haramnya tiap-tiap tambahan, ini sudah merupakan kesepakatan ulama. Dan dalam hal jual beli pun memang tidak bisa lepas dari tambahan harga itu, bukan berarti riba.
Menurut Anwar Iqbal Qurareshi bahwa fakta-fakta yang dan objektif menegaskan bahwa Islam memang melarang setiap pembungaan uang, tetapi hal ini tidak berarti bahwa Islam melarang perkreditan, sebab sistem perekonomian modern tidak akan lancar tanpa adanya kredit.
Hukum kaharamannya juga didukung oleh hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
“Barangsiapa melakukan dua penjualan atas satu jenis barang, maka baginya yang paling murah (pertama) di antara keduanya atau menjadi riba.” (HR. Abu Dawud)
Rasulullah Saw, pernah melarang perihal dua penjualan dalam satu akad, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah:
“Rasulullah Saw., pernah mencegah (orang-orang) dari dua penjualan atas transaksi dalam satu produk (barang atau jasa)”. (HR. Tirmidzi)
Wajh al-istidlal dari hadits di atas adalah mereka yang mengharamkan jual beli dengan sistem kredit, berdasarkan hadits di atas. Mereka berkata bahwa maksud hadits tersebut adalah penjual berkata kepada si pembeli harga secara kontan sekian dan harga secara kredit sekian (lebih tinggi), cara yang begini adalah dilarang karena si penjual mengumpulkan dua akad dalam satu transaksi, dan pihak penjual tidak menentukan dengan harga kontan atau kredit.
Munaqasyah al-adillah terhadap hadits tersebut bahwa jumhur ulama justru membolehkannya berdasarkan keumuman dalil-dalil yang membolehkannya jual beli. Sebab yang dijadikan rujukan utama oleh mereka yang mengharamkan jual beli kreditialah riwayat pertama yang dikisahkan oleh Abu Hurairah. Padahal sudah dimaklumi bahwa dalam sanad riwayat tersebut terdapat seorang perawi yang menjadi pembicaraan ulama hadits. Jadi hadits-hadits bai’atain fi bai’atin yang terkenal itu, tidak dapat dijadikan hujjah.
Andai riwayat Abu Hurairah yang dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang infirad dapat dijadikan hujjah, tentu maksud dan pengertiannya tentu tidak menjadi ajang perselisihan ulama sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Ibnu Ruslan yang nengecam orang yang beralasan dengan dengan hadis tersebut.Sebab inti hadis di atas melarang dua penjualan atas satu produk, yaitu yang berkata bahwa, kalau kontan dengan harga sekian dan kalau kredit dengan harga sekian. Kecuali, apabila pihak penjual sejak awal sudah mengatakan “dijual secara kredit saja dengan harga sekian”, sekalipun dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga kontan. Padahal orang-orang yang berpegang teguh pada riwayat Abu Hurairah ini melarang jual beli dengan kredit juga. Sementara riwayat di atas tidak bermaksud demikian. Jadi hadis ini dijadikan rujukan untuk menghukum haramnya jual beli dengan kredit, kurang tepat.
As-Syaikh Nashirudin al-Albani, menjelaskan maksud larangan dalam hadits tersebut adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli : jika kamu membeli dengan kontan, maka harganya sekian dan apabila kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi). Atas dasar inilah jual beli dengan sistem kredit (yakni ada perbedaan harga kontan dengan harga cicilan) dilarang, dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba.
Dalam perkara jual beli kredit ini, Syaikh al-Albani memberikan nasehat:
“Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa jual beli yang seperti ini yang telah banyak tersebar dikalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli at-taqsith, dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan tambahan harga kontan, adalah jual beli yang tidak disyariatkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, dimana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia dan kasih sayang serta meringankan beban mereka”.
Munaqasyah al-adillah terhadap hadits di atas bahwa sangat dimungkinkan dalil tersebut bukan merupakan rush terhadap pembahasan ini. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan hadits di atas, yang antara lain:
Imam Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits Abu Hurairah seperti yang telah dikemukakan, “Hadits ini diamalkan oleh ahli ilmu. Sebagian ahli ilmu telah menjelaskan tentang dua penjualan dalam satu penjualan, yaitu ketika mereka berkata: Yang dimaksud dua penjualan di atas satu produk ialah seorang penjual mengatakan “saya menjual baju ini kepadamu dengan harga sepuluh ribu secara kontan dan dua puluh ribu secara kredit”.
Pihak penjual tidak menentukan dengan harga kontan atau kredit. Akan tetapi bila ditentukan, maka tidak mengapa Imam Syafi’i mengatakan, “Yang dimaksud dengan larangan Nabi saw., mengenai dua penjualan atas satu produk ialah seseorang mengatakan, “saya menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu harus menjual anakmu dijual kepada saya, maka pasti rumahku dijual kepadamu”. Penjualan semacam ini berbeda jauh dengan jual beli yang tidak ditentukan harganya sehingga dari masing-masing dari pihak penjual dan pembeli tidak tahu pasti akad jual beli mana yang dipilih”.
Ada juga yang menafsirkan bahwa maksud dari hadits tersebut bukanlah mengumpulkan dua akad dalam satu transaksi, seperti yang dipahami oleh orang yang mengharamkannya, melainkan mengenai jual beli ‘inah, yang maksudnya adalah larangan mengumpulkan dua akad dengan maksud lepas dari riba. Seperti seseorang menjual barang dagangannya kepada orang lain dengan harga yang sudah diketahui, diangsur sampai batas waktu tertentu. Kemudian ia membelinya kembali dari pihak pembeli dengan harga yang lebih murah.
2. Hukum yang membolehkannya
Pendapat yang mengatakan boleh dikemukakan oleh jumhur ulama. Karena merupakan konsekuensi dari nilai harga yang dihutang, dan akadnya mirip dengan akad memakai salam, yaitu pemesanan barang dengan sistem pembayaran terhutang. Seandainya pembelian tunai tentu uangnya dapat diputar kembali dan dapat keuntungan lagi, karena pembelian kredit otomatis uangnya macet di tangan pengkredit.
Oleh karena itu, secara akal tidak ada larangan untuk memungut nilai tambah dari harga benda dengan syarat nilai tambahan tersebut tidak memberatkan dan bernilai ekonomis bagi si pemberi dan si penerima kredit. Jika nilai tambahan tersebut dilarang, maka dikuatkan praktek riba (al-fakhisy sangat memberatkan karena bunganya akan terus berbunga) akan semakin marak.
Para ulama membolehkan jual beli tersebut, mengemukakan banyak dalil yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah dan Qiyas. Semua ayat al-Qur’an yang menghalalkan bai’ dijadikan sebagai dalil sah dan bolehnya akad jual beli kredit, misalnya firman Allah :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Orang-orang yang memakan (harta) riba, tiada berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang dibantingkan oleh syaithan karena gila. Demikian itu karena mereka berkata: Jual beli itu hanya seperti riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”.
Wajh al-istidlal-nya dari ayat di atas, bahwasanya jual beli barang secara kredit dengan tambahan harga merupakan satu bagian dari jual beli pada umumnya, dan ini bisa dipahami dari keumuman ayat di atas. Hukum syar’i juga membolehkan semua muamalah kecuali memang ada dalil yang melarangnya secara khusus.
Munaqasyah al-adillah dari ayat di atas adalah keumuman ayat di atas yang membolehkan jual beli secara umum sangat mungkin sekali untuk ditakhshiskan. Bisa saja jual beli yang pada dasarnya halal berubah menjadi haram.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ...
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya….”.
Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan isi perjanjian dagang itu sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati, baik mengenai jumlahnya, waktu pembayaran dan lain sebagainya. Dalam hal ini kedua belah pihak diberi kebebasan untuk memilih penulis yang mereka sukai, sehingga si penulis tidak akan mengurangi atau menambah jumlah utang-piutang tersebut. Adanya penulisan utang-piutang tadi mendatangkan manfaat kepada penjual dan pembeli.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan (jual beli) yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…”.
Sunnah Nabi saw., Adapun hadis-hadis dan atsar yang membolehkan jual beli dengan kredit dengan tambahan harga pada selain sil’un ribawiyah sangat banyak, diantaranya:
فبما ثبت أنه عليه الصلاة والسلام : اشترى من يهودى طعاما الى أجل ورهنه درعا من الحديد
Hadis shahih yang diriwayatkan dari Nabi Saw., bahwa Nabi pernah membeli makanan (secara berhutang) kepada seorang Yahudi dan jaminannya baju perang dari besi.
Wajh al-istidlal hadis di atas menunjukkan bahwa Nabi sendiri pernah melakukan jual beli kredit dengan orang yahudi dengan berhutang dan pembayarannya dilakukan kemudian.
Munaqasyah al-adillah, bahwa memang hadis tersebut menunjukkan bolehnya jual beli dengan harga yang ditangguhkan namun tidak ada tanda-tanda kebolehan tambahan harga. Apa yang pernah dilakukan Nabi itu bukanlah dalam konteks jual beli utang dengan penambahan harga. Antara harga kontan dengan utang tidak ada perbedaannya, hanya saja Nabi melakukan jaminan dengan cara menggadaikan baju besinya untuk sementara waktu.
فبما روى أنه عليه الصلاة والسلام : أمر عبد الله بن عمرو بن العاص أن يجهز فكان يشبرى البعير بالبعير الى أجل
Hadis shaheh yang diriwayatkan dari Nabi, bahwasanya Nabi pernah memerintahkan Abdullah bin Amar bin Ash r.a. supaya membekali pasukan perangnya dengan onta yang kuat, dengan cara membeli satu ekor onta secara kredit dibayar dengan dua dua onta.
Wajh al-istidlal-nya adalah bahwa Abdullah bin Amar bin ‘Ash pernah membeli seekor onta secara kredit, kemudian dia membayarnya dengan dua ekor onta, ini merupakan perbuatan sahabat Nabi, dan Nabi sendiri tidak mengingkarinya.
Munaqasyah al-adillah terhadap dalil tersebut bahwa sanad hadis ini yaitu Muhammad bin Ishaq adalah orang yang dipertentangkan tentang keadilannya. Kemudian hadis tersebut juga sangat bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Hasan bin Samirah, bahwasanya Nabi Saw., melarang jual beli hewan dengan hewan dengan ditangguhkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a katanya, bahwa tatkala Nabi Saw., memerintahkan agar bani Nadhir diusir dari Madinah, datanglah kepada Nabi Saw., beberapa orang di antara mereka, lalu berkata: Sesungguhnya kami mempunyai banyak tanggungan hutang yang belum dilunasi. Maka, jawab Nabi Saw.,
ضعوا وتعاجلوا (رواه الدراقطنى)
“Tinggalkanlah (harta bendamu) dan segeralah berangkat”.
Begitu juga jika ditilik dari sudut qiyas, ia termasuk jual beli yang disyariatkan Allah, misalnya: sama dengan jual beli salaf.
3. Hukumnya Tafshil (antara Haram dan Halal)
Bagi kelompok ini, hukumnya halal jika memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu apa yang telah dijelaskan di atas oleh pendapat kedua, adalah tidak memberatkan dan saling menguntungkan. Hukumnya haram, jika memenuhi unsur riba, yaitu tambahan yang sangat memberatkan sehingga tidak ada unsur saling tolong menolong. Dalil-dali yang mereka gunakan dalam memutuskan halal/haramnya jual beli kredit dengan tambahan harga menggunakan dasar pendapat pertama dan kedua di atas.
Syaikhul Islam Muftil Anam Ahmad bin Abdul Halim yang dukenal dengan sebutan Ibnu Taimiyah, berkata: “Saya pernah ditanya perihal seseorang yang perlu kepada pedagang kain. Ia berkata kepada pedagang kain tersebut, “juallah kepada saya sepotong kain ini!” Jawab si pedagang, saya membeli kain ini tiga puluh real dan tidak akan saya jual, melainkan dengan harga lima puluh real secara kredit”. Apakah jual beli yang demikian itu boleh atau tidak?”
Saya jawab, bahwa pembeli terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, pembeli membeli barang dengan tujuan untuk dimanfaatkan sendiri, misalnya untuk dimakan, diminum, dikenakan dan sebagainya. Kedua, dengan tujuan untuk diperdagangkan. Bagian pertama dan kedua di sini sama-sama boleh berdasarkan ayat al-Qur’an, Sunah shahih dan ijma’ ulama, sebagaimana tertera dalam firman Allah yang artinya :
“…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”(al-Baqarah/2: 275)
“…Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlangsung suka sama suka di antara kamu…”. (al-Nisa/4: 29)
Bentuk perdagangan di atas harus memperhatikan dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan syara’. Oleh karena itu, apabila si pembeli merasa terpaksa, maka tidak boleh menjual kepadanya, kecuali dengan harga yang biasa berlaku. Contoh orang yang terpaksa harus membeli makanan, ternyata ia tidak mendapati makanan yang dimaksud, kecuali pada toko si Fulan. Maka si fulan tersebut harus menjual kepadanya dengan harga yang biasa berlaku. Apabila ternyata pihak penjual menjualnya dengan harga yang lebih tinggi, maka berarti pihak pembeli akan menerima barang tersebut dengan terpaksa. Ketiga, pembeli hendak bermaksud untuk memiliki uang, misalnya untuk membayar hutang kepada orang lain. Dia telah membeli sesuatu kepada seorang pedagang dengan syarat pihak penjual harus meminjamkan uang kepada pemberi sebesar 120 dinar untuk membayar hutang. Maka jual beli ini terlarang. Jika keduanya sepakat agar pihak pemberi mengembalikan barang yang dibeli si penjual, maka inilah yang disebut dengan bai’atain fi bai’atin yang dilarang Nabi saw.
Ada tiga gambaran atau contoh masing-masing dalam kitab Hukmul Bai’ bit Taqsith. Yaitu :
Makna pertama, contoh : saya menjual mobil ini kepadamu misalnya dengan harga 40 ribu real dengan kontan dan 45 ribu real dengan kredit, kemudian berpisahlah si penjual dengan si pembeli tanpa ditentukan dijual dengan kotan atau kredit, maka tata cara jual beli semacam ini tergolong fasid (rusak karena tidak ada kejelasan), dan ini adalah tafsiran At Tirmidzi, Al Khatthabi dsb.
Makna kedua, contoh : Saya menjual kebun ini secara kepadamu dengan harga sekian, misalnya dengan syarat kamu harus menjual rumah si fulan kepadaku dengan harga sekian. Maka tatacara jual beli semacam ini tidak sah juga karena di samping mengandung jahalah (tidak jelas) juga bersyarat dengan syarat yang mengandung dharar dan rusak. Dan makna ini adalah pendapat As Syafi’ie tentang menjual satu produk dengan dua penjualan.
Makna ketiga, contoh : Saya menjual sesuatu kepada anda dengan harga seribu real secara kredit kemudian penjual membelinya kembali dengan harga Sembilan ratus dari si pembeli secara kontan, maka tata cara jual beli semacam ini benar-benar rusak karena mengandung tipu muslihat agar tidak dianggap riba. Dan jual beli semacam ini juga disebut dalam bahasa hadits kemudian para ulama dengan jual beli ‘iinah.
2.4 Bentuk-bentuk jual beli secara taqsith
Pertama : Sistim kontan dan kredit.
Contoh : seorang penjual berkata : “Saya jual mobil ini seharga 100 juta secara kontan dan seharga 150 juta secara kredit”.
Kedua : Sistim kredit pilihan dengan jangka waktu.
Contoh : seorang penjual berkata : “Saya jual mobil ini secara kredit, kalau satu tahun harganya 150 juta, kalau dua tahun harga 175 juta dan kalau tiga tahun harganya 200 juta”.
Ketiga : Sistim kontan dan kredit dengan pilihan jangka waktu.
Contoh : seorang penjual berkata : “Saya jual mobil ini 100 juta secara kontan dan kalau secara kredit satu tahunnya seharga 150 juta, kalau dua tahun seharga 175 juta dan kalau tiga tahun seharga 200 juta”.
Tiga bentuk ini termasuk dalam kategori jual beli secara taqsith yang dibolehkan dalam syari’at Islam dan tentunya akad transaksi terhitung sah apabila terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli pada salah satu harga dan jangka waktu yang tertera dalam akad sebagaimana yang telah diterangkan. Pada contoh pertama –misalnya- harus ada kesepakatan apakah ia mengambil dengan harga kontan 100 juta atau mengambil secara kredit 150 juta. Demikian pula pada contoh kedua si pembeli harus memilih salah satu dari pilihan yang ada, apakah ia mengambil mobil itu secara kredit selama satu tahun, dua tahun atau tiga tahun dengan ketentuan harganya masing-masing, dan demikian seterusnya.
Tiga bentuk ini termasuk dalam kategori jual beli secara taqsith yang dibolehkan dalam syari’at Islam dan tentunya akad transaksi terhitung sah apabila terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli pada salah satu harga dan jangka waktu yang tertera dalam akad sebagaimana yang telah diterangkan. Pada contoh pertama –misalnya- harus ada kesepakatan apakah ia mengambil dengan harga kontan 100 juta atau mengambil secara kredit 150 juta. Demikian pula pada contoh kedua si pembeli harus memilih salah satu dari pilihan yang ada, apakah ia mengambil mobil itu secara kredit selama satu tahun, dua tahun atau tiga tahun dengan ketentuan harganya masing-masing, dan demikian seterusnya.
2.5 Beberapa hukum dan etika jual beli secara taqsith
* Tidak diragukan bahwa jual beli secara taqsith adalah mustahab (sunnah,dianjurkan) bila dilakukan dengan maksud memudahkan pembeli sesuai dengan apa yang mencocoki keadaannya. Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
اقْتَضَى إِذَا سَمْحًا , شْتَرَى إِذَا سَمْحًا , بَاعَ ذَاسَمْحًا عَبْدًا اللهُ رَحِمَ
“Allah merahmati seorang hamba yang samhan (pemurah hati,toleran) bila membeli, samhan bila menjual (dan) samhan bila memberi keputusan”.(HR. AL-Bukhary)
* Transaksi jual beli secara taqsith yang dibolehkan tentunya bukan pada barang rabawy yang memiliki ‘illat yang sama. Sebab sebagaimana telah dijelaskan dalam volume yang telah lalu bahwa dua barang rabawy yang sama dalam ‘illatnya namun berbeda jenisnya, maka dalam penukaran antara satu jenis dengan yang lainnya disyaratkan harus saling pegang dan pada saat itu juga (kontan). Maka tidak boleh –misalnya- mencicil emas dengan menggunakan mata uang, sebab keduanya adalah barang rabawy dan memiliki ‘illat yang sama yaitu muthlaquts tsamaniyah (mempunyai nilai tukar dalam transaksi jual-beli) sehingga harus kontan tidak boleh secara kredit atau berangsur.
* Transaksi jual beli secara taqsith yang dibolehkan tentunya bukan pada barang rabawy yang memiliki ‘illat yang sama. Sebab sebagaimana telah dijelaskan dalam volume yang telah lalu bahwa dua barang rabawy yang sama dalam ‘illatnya namun berbeda jenisnya, maka dalam penukaran antara satu jenis dengan yang lainnya disyaratkan harus saling pegang dan pada saat itu juga (kontan). Maka tidak boleh –misalnya- mencicil emas dengan menggunakan mata uang, sebab keduanya adalah barang rabawy dan memiliki ‘illat yang sama yaitu muthlaquts tsamaniyah (mempunyai nilai tukar dalam transaksi jual-beli) sehingga harus kontan tidak boleh secara kredit atau berangsur.
* Terlihat dalam praktek jual beli secara Taqsith adanya pensyaratan dari penjual agar hak kepemilikan diserahkan kepada pembeli saat penyerahan cicilan terakhir. Yaitu pembeli telah mengambil barangnya namun penulisan keterangan surat atau bukti kepemilikan bahwa barang itu adalah miliknya diserahkan saat pelunasan cicilan terakhir. Maksud pensyaratan tersebut adalah agar pembeli komitmen dan serius dalam menyelesaikan tunggakannya dan bila pembeli bangkrut, barang tidak diikutkan dalam perhitungan barang yang bankrupt sehingga merugikan penjual. Pensyaratan yang seperti ini dinilai oleh Syaikh ‘Abdulllah bin ‘Abdurrahman bin Jibrin mungkin untuk dibenarkan namun beliau sendiri tidak memastikan syahnya/benarnya dan beliau khawatir hal tersebut masuk dalam kategori penjualan dengan dua syarat yang terlarang. Disisi lain Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy dalam keputusan no. 51 (2/6) pada point keenam menyebutkan bahwa penjual tidak ada hak untuk menyimpan kepemilikan barang padanya setelah terjadi transaksi.
* Adapun kalau hak kepemilikan sudah ditetapkan dan tertulis untuk pembeli maka tidak mengapa penjual menyimpannya sebagai jaminan agar pembeli tetap menyelesaikan tunggakannya. Demikian Fatwa Syaikh Syaikh ‘Abdulllah bin ‘Abdurrahman Jibrin dan keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy dalam keputusan no. 51 (2/6) pada point keenam.
* Tidak diperbolehkan penjual menetapkan denda materi terhadap pembeli bila terjadi keterlambatan pembayaran setelah jatuh tempo, sama sekali tidak diperbolehkan walaupun penetapan denda terjadi sebelum akad transaksi karena hal tersebut tergolong riba jahiliyah yang telah diuraikan dalam Dhobith keempat dalam Volume 06 yang telah lalu. Adapun denda yang berkaitan dengan badan seperti dipenjara atau semisalnya maka hal tersebut diperbolehkan, tentunya dengan melalui mahkamah syari’at. Demikian kesimpulan Fatwa Syaikh Syaikh ‘Abdulllah bin ‘Abdurrahman Jibrin dan keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy dalam keputusan no. 51 (2/6) pada point ketiga dan keempat.
* Tidak diperbolehkan penjual menetapkan denda materi terhadap pembeli bila terjadi keterlambatan pembayaran setelah jatuh tempo, sama sekali tidak diperbolehkan walaupun penetapan denda terjadi sebelum akad transaksi karena hal tersebut tergolong riba jahiliyah yang telah diuraikan dalam Dhobith keempat dalam Volume 06 yang telah lalu. Adapun denda yang berkaitan dengan badan seperti dipenjara atau semisalnya maka hal tersebut diperbolehkan, tentunya dengan melalui mahkamah syari’at. Demikian kesimpulan Fatwa Syaikh Syaikh ‘Abdulllah bin ‘Abdurrahman Jibrin dan keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy dalam keputusan no. 51 (2/6) pada point ketiga dan keempat.
* Tidaklah pantas seorang muslim membeli dengan cara taqsith kecuali kalau punya kemampuan untuk membayar cicilannya dan bersungguh-sungguh untuk hal itu agar ia tidak merugikan orang lain dan tidak pula membebani dirinya dengan sesuatu yang ia tidak mampu.
* Boleh hukumnya membeli barang secara taqsith walaupun ia mampu membayar secara kontan. Kendati demikian kalau seseorang mampu membayar kontan maka itu lebih baik dan lebih terpuji untuk dirinya.
* Boleh hukumnya membeli barang secara taqsith walaupun ia mampu membayar secara kontan. Kendati demikian kalau seseorang mampu membayar kontan maka itu lebih baik dan lebih terpuji untuk dirinya.
* Tidak boleh seorang penjual memanfaatkan banyaknya kebutuhan manusia untuk meninggikan harga sehingga menjadi sangat mahal.
* Muslim yang paling baik adalah orang yang menerapkan hadits Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam berikut ini :
إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baiknya dalam menunaikan”. (HR. Muslim dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu dan Riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
2.6 Fatwa – fatwa
2.6.1 Fatwa lembaga dan ulama`
Dalam kitab [Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta` No: 9388, 13/132 disebutkan tentang jual beli taqsith (kredit): Jika barang dijual dengan harga 'lebih' daripada harga kontan tetapi harga tersebut dibatasi , maka tidak ada masalah.Entah dengan sekali tempo atau berkali-kali (dikredit) selama dengan jangka waktu yang ditentukan. Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata , Bariroh datang kepadaku dan berkata saya membeli (menebus) diriku dari tuanku dengan harga 9 uqiyah, dan setiap tahun dia membayarnya dengan satu uqiyah” [HR Al Bukhari No. 2168, Muslim, No. 1504]. Kemudian dalam Jual beli kredit apabila pembeli terlambat membayarnya lalu harga bertambah, maka hal itu tidak diperbolehkan karena seperti riba di zaman jahiliyah (Al Baqarah : 282). Dan Tidak boleh secara syar'i pensyaratan harus menyerahkan (menarik kembali ) barang dagangan dalam keadaan jatuh tempo (terlambat) atas pembayarannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Majma’ul Fiqhi Al Islami Hal 142.
2.6.2 Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang yang membeli seekor kuda dengan harga 180 dirham. Kemudian datanglah orang lain kepadanya ingin membeli kuda tersebut dengan 300 dirham dengan dicicil selama tiga bulan, apakah jual beli itu halal ?
Jawaban beliau : “Alhamdulillah, jika orang yang membeli kuda dengan harga 180 dirham itu bertujuan untuk memanfaatkan atau memperdagangkannya, maka tidak mengapa ia menjualnya kembali dengan kredit, dengan catatan pihak penjual tidak boleh mengambil laba kecuali laba yang wajar, tidak boleh mengeruk keuntungan di atas kebutuhan orang lain yang mendesak.
Jika Pembeli (pembeli kuda pertama) itu sangat membutuhkan uang, padahal sebelumnya ia biasa membeli sesuatu untuk kemudian dijual kembali secara kontan, maka menurut pendapat ulama yang paling kuat dalam hal semacam ini makruh hukumnya.” [Majmu’ fatawa, Ibnu Taimiyah : 29/501]
Jika Pembeli (pembeli kuda pertama) itu sangat membutuhkan uang, padahal sebelumnya ia biasa membeli sesuatu untuk kemudian dijual kembali secara kontan, maka menurut pendapat ulama yang paling kuat dalam hal semacam ini makruh hukumnya.” [Majmu’ fatawa, Ibnu Taimiyah : 29/501]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Definisi Bai Taqsith
Arti dari bai’ adalah menjual sedangkan pengertian Taqsith, secara bahasa adalah bermakna membagi sesuatu menjadi bagian-bagian tertentu dan terpisah. Adapun secara istilah, jual beli secara taqsith adalah menjual sesuatu dengan pembayaran yang ditangguhkan, diserahkan dengan pembagian-pembagian tertentu pada waktu yang telah ditetapkan dengan jumlah keseluruhannya yang lebih banyak dari harga kontan. Atau dengan kata lain bai’ bittaqsith ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. Secara umum bai bittaqsith lebih dikenal dengan sebutan pembelian secara kredit.
Bai bittaqsith atau jual-beli secara kredit juga memiliki aturan tertentu, para ulama telah merinci beberapa ketentuan mengenainya, yaitu :
1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli.
2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai’ gharar, atau ‘bisnis penipuan’.
3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’ muththarr atau ‘jual-beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bentuk-bentuk jual beli secara taqsith
Pertama : Sistim kontan dan kredit.
Kedua : Sistim kredit pilihan dengan jangka waktu.
Ketiga : Sistim kontan dan kredit dengan pilihan jangka waktu.
Ada 3 pendapat hokum :
- Haram mutlak
- Boleh
- Antara haram dan boleh
3.2 Saran
Makalah ini hanya sebagian kecil saja menguraikan tentang ‘Bai at-taqsith’. Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna banyak sekali kesalahan dan kekurangan, baik dari segi penulisan maupun dari penyusunan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Oleh karena itu, penyusaun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca. Akhirnya penyusun mengucapkan Alhamdulillah atas terselesaikannya makalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar